Minggu, 18 Mei 2014, pagi itu setelah mencuci baju yang kotor hasil blusukan ke Kec.
Kasiman pada hari Sabtu, aku pun segera menuju salah satu Hotel di pinggiran
Kota Bojonegoro untuk menjemput Drs. Sukari. Beliau adalah salah satu peneliti senior
dari BPNB[1]
Yogyakarta yang sedang melakukan pendataan WBTB[2] di
wilayah Bojonegoro - Tuban. Hari ke tujuh (7) ini jadwal kami mencari seorang
Maestro Kentrung di wilayah perbatasan antara Kabupaten Bojonegoro – Tuban, tepatnya di
Desa Bate, Kec. Bangilan, Kab. Tuban.
Kentrung merupakan kesenian sastra tradisional yang cukup populer di Jawa Timur (itu dulu), terutama dari wilayah Pantai utara Jawa Timur. Kesenian Kentrung dimainkan oleh seorang dalang tanpa wayang, seiring lantunan syair merdu dari sang dalang, kesenian ini diiringi oleh alat musik kendang, terbang, dan ketipung. isi syair - syairnya bermuatan ajaran moral tradisional jawa maupun islam. Kentrung yang legendaris adalah Kentrung Bate, karena berasal dari Desa Bate, Kec. Bangilan, Kab, Tuban.
Kentrung merupakan kesenian sastra tradisional yang cukup populer di Jawa Timur (itu dulu), terutama dari wilayah Pantai utara Jawa Timur. Kesenian Kentrung dimainkan oleh seorang dalang tanpa wayang, seiring lantunan syair merdu dari sang dalang, kesenian ini diiringi oleh alat musik kendang, terbang, dan ketipung. isi syair - syairnya bermuatan ajaran moral tradisional jawa maupun islam. Kentrung yang legendaris adalah Kentrung Bate, karena berasal dari Desa Bate, Kec. Bangilan, Kab, Tuban.
Peta Loksi Desa Bate, Kec. Bangilan, Kab. Tuban Foto : Novi BMW |
Sesungguhnya lokasi Desa Bate, Kec.
Bangilan berbatasan dengan Kecamatan Kadewan, Kab. Bojonegoro, namun mengingat
kondisi jalan yang hancur, maka kamipun memutuskan untuk melewati jalur Bus
arah Jatirogo, dan saat sampai di Kecamatan Bangilan, belok ke selatan arah
Kadewan. Dan memanglah berbeda, antara jalan kecamatan wilayah Bojonegoro yang
bergelombang cenderung lobang[3],
dengan jalan desa wilayah Tuban yang aspal cenderung mulus.
Sesampainya di Kecamatan Bangilan kami
pun mencari Desa Bate, lokasinya masih sangat asri, jauh dari hiruk pikuk jalan
raya Kecamatan Bangilan – Kadewan. Sawah yang luas dan berwarna hijau disaat
musim tanam telah usai, kami mencari rumah Kepala Desa Bate. Pak Edi adalah
Kepala Desa yang baru terpilih, kami pun bertanya kepada beliau tentang rumah
seorang nenek warga desa Bate yang telah menjadi Maestro Kentrung, Mbah Surati namanya.
Pak Edi malah balik bertanya,
karena ia baru kali ini mendengar adanya pemain Kentrung Senior di Desa Bate.
Beliaupun mencoba menghubungi perangkat desa yang telah lama mengabdi pada desa.
Akhirnya Pak Modin Bate pun datang mengkonfirmasi keberadaan seorang nenek yang
menjadi pemain Kentrung, Mbah Rati namanya. Memang penduduk desa lebih mengenal
nama Mbah Surati dengan nama pendeknya, yaitu Mbah Rati. Dari informasi Pak
Modin, Pak Edi Sang Kepala Desa Bate pun penasaran dengan sosok Maestro
Kentrung di Tuban tersebut. Oleh karenanya kami diantar menuju lokasi rumah
Mbah Rati.
Sepanjang jalan menuju rumah Mbah
Rati, kami menelusuri lika – liku gang – gang sempit yang telah dipaving dan
jalan mester (jalan lantai semen).
Kanan kiri rumah masyarakat dengan sapi – sapi yang gemuk serta tumpukan jerami
– jerami kering menjadi ciri masyarkat pertanian Desa Bate. Terlihat bahwa ternak
Sapi adalah aset berharga, sekaligus wujud strata sosial masyarakat petani
desa.
Sesampainya di ujung jalan, kami
melihat hamparan sawah dan tebing curam. Rumah Mbah Surati berada di ujung
jalan tersebut. rumah dari papan kayu, bersebelahan dengan kandang sapi itu
tertutup tanpa ada tanda – tanda kehidupan[4].
Didampingi oleh tetangganya[5],
kami pun mencoba memanggil Mbah Rati dari luar untuk meminta ijin bertemu, kami
menunggu sekitar 15 untuk dibukakan pintu, namun tak kunjung dibuka, alih-alih
membuka mbah Rati dengan lirih bersuara parau dari dalam menyahut agar
tetangganya itu langsung membuka pintu sendiri.
Setelah dipersilahkan masuk oleh
tetangganya Mbah Rati, kami pun terhenyak dan miris melihat sosok Mbah Rati
yang duduk di kursi atau temat tidurnya[6].
15 menit kami menunggu di luar ternyata Mbah Rati berusaha berdiri, dan
kebingungan mencari tongkatnya yang terjatuh, karena gagal mencari maka beliau
menyuruh tetangganya tersebut membuka pintu rumahnya sendiri.
Mbah Surati Sang Maestro Kentrung
Foto : Novi BMW
|
Mbah Rati dengan tubuh tuanya yang lusuh,
berambut putih, dengan luka – luka di kakinya. Beliau menceritakan bahwa ia
telah berusia lebih dari 100 tahun, beliau pun tidak ingat kapan lahir kedunia.
Walau masih memiliki ingatan sehat, serta mampu mendengarkan dengan baik, namun
Mbah Rati kini tunanetra dan tak lagi mampu berjalan maupun berdiri terlalu
lama. Dengan kondisi seperti itu, beliau meminta kami, yang dianggap “cucu - cucu” nya dari jauh harap maklum
dengan kondisi rumah yang tidak terawat.
Terlihat baju kumal, lusuh, dan kain
putih yang menyelimuti beliau telah menjamur[7].
Kondisi meja – kursi yang lama tidak terpakaipun telah penuh dengan debu. Di
bawah kursi dan meja penuh dengan takir[8]
kering dengan sisa nasi atau makanan yang telah menjamur. Bau tidak sedap dan suhu ruangan
yang pengap terasa menyesakkan dada. Dinding – dinding kayu yang berlubang,
atap genting yang bocor, lantai tanah yang lembab dan jika hujan turun dari
celah-celah atap yang bocor, airpun membuat laintai becek. Ruang tamu dipenuhi
barang – barang bekas serta tumpukan gabah dalam karung, itulah kondisi suasana
rumah Mbah Rati. Adapun aliran listrik untuk lampu peneraangan baru dialirkan
oleh tetangganya beberapa bulan lalu, itupun menurut Mbah Rati sama saja, beliau
tetap gelap karena tidak mampu lagi melihat dunia.
Atap Bocor dan dinding kayu kusam berjamur akibat tetesan air hujan
Foto : Novi BMW
|
Tersingkap luka – luka di kakinya
akibat sering terjatuh/terpeleset saat ia berusaha berjalan di dalam pengapnya
gubuk reot nan gelap gulita. Dikala musim hujan, deritanya pun bertambah, atap
bocor membanjiri lantai tanah yang becek licin bercampur sampah makanan yang
tersisa tanpa mampu ia bersihkan karena gangguan penglihatannya. Aroma dari
kandang sapi disebelah rumahpun turut memperparah kondisi ruang gubuknya.
Rumah Mbah Surati bersebelahan dengan Kandang Sapi Tetangganya
Foto : Novi BMW
|
Makanan dikirim beberapa tetangganya
yang iba dengan kondisi Mbah Rati yang hidup sebatangkara. Dahulu para tetangganya pernah lupa mengirim Mbah Rati makanan hingga tiga / empat hari, sehingga
masyarakat mengira Mbah Rati telah meninggal dunia karena kelaparan tanpa makan
dan minum. Namun Tuhan memberikan keajaiban, Mbah Rati walaupun lemas masih
diberi umur panjang hingga kini. Bahkan beliau sempat di undang Gubernur Jawa
Timur, Dr. H. Soekarwo untuk tampil Kentrung. Sepulang dari undangan Gubernur,
beliau mendapatkan dana bantuan Rp. 30.000.000,- untuk tiga orang pemain
Kentrung Mbah Rati. Dana bantuan tersebut kemudian dibelikan seekor Sapi yang kini
dirawat tetangganya.
Tidak terasa air mataku pun mulai
mencoba menyembul keluar, aku dan Drs. Sukari hanya mampu sebentar saling memandang
seolah menyatakan perasaan yang sama. Dengan menahan gejolak didada dan di mata,
akhirnya ku putuskan untuk keluar dari rumah untuk menikmati pemandangan sawah
di depan rumah. Ku lihat kandang sapi disebelah rumah, dan juga beberapa
penduduk desa memikul rumput untuk ternak mereka. Adapula yang menyiangi sawah
dengan anak istri turut membantu. Setelah mampu mengendalikan diri akupun
kembali ke dalam rumah.
Sawah depan rumah Mbah Surati |
Drs. Sukari pun melanjutkan wawancara
mengenai asal mula Kentrung di wilayah Bate. Ternyata Mbah Rati adalah generasi
ke-3 dari pemain kentrung legendaris, yaitu Mbah Dasiman, kemudian ia mewarisi
Kentrung dari Ibunya. Dimasa mudanya, sering turut ngamen kentrung
keliling Tuban, Bojonegoro dan sekitarnya untuk menyambung hidup. Selain itu
juga tak jarang diundang mengisi acara khitanan, nikah dan beberapa acara para
tokoh di Tuban, dan keluar kota. Pemain kentrung hanya 3 orang dengan alat
musik, kendang, terbang dan ketipung. Mbah Rati sebagai dalang Kentrung
sekaligus memainkan kendang.
Mbah Rati prihatin setelah kematian
suaminya tahun 2009 lalu, akan tidak adanya regenerasi yang dapat meneruskan
Kentrung. Walaupun ada yang diajak untuk pentas, sebatas memainkan alat musik
terbang dan ketipung, sedangkan menyahut lagu kentrungannya belum ada yang mampu.
Sehingga Mbah Rati hanya sendiri saat melantunkan lagu kentrung. Selain itu
kendala kurangnya tanggapan (undangan
tampil) membuat regenerasi sulit, karena dinilai kentrung tidak menanjikan dan
bukan kesenian yang menarik.
Untuk Belajar Kentrung, dahulu Mbah
Rati saat kecil sering diajak ngamen Ibunya, sehingga dia hafal dan mampu
memainkan alat-alat serta menyayikan syair-syair Kentrung. Dahulu ngamen
kentrung keliling wilayah Tuban hingga 10 hari sekali baru pulang, dan saat
diperjalanan sering menginap di rumah – rumah perangkat desa.
Alat Kentrung Mbah Surati
Foto : Novi BMW
|
Waktu pertunjukan kentrung biasanya
antara pkl. 21.00 – 04.00 WIB dengan mahar
pentas Rp. 2.000.000,-. Semangat Mbah Rati hingga kinipun tidak surut, dan
masih berkobar saat ditanya apakah Mbah Rati masih sanggup bila ada yang
meminta tanggapan. Mbah Rati menyanggupi dengan suara semangat, seolah menyiratkan
harapannya untuk melihat dunia luar yang lama jauh darinya, walaupun kini tak
mampu lagi dilihat & dinikmatinya. Minimal Mbah Rati mampu bernostalgia
untuk menghibur dirinya serta keluar dari kungkungan ruang gelap nan pengab
dalam rumahnya yang tak terawat.
Mbah
Rati masih berhasrat untuk tampil lagi di luar kota dengan dijemput dan dipapah
saat menuju panggung, serta menjelaskan suaranya yang tidak semerdu dahulu, dan
kini suara yang tersisa adalah suara merdu yang serak – serak basah. Cerita yang
Mbah Rati mainkan dalam pagelarkan beberapa cerita yang sering dia bawakan
adalah : Siti Zulaikha, Terang Wulan, Wulan Suci, Sukosengkoro, Nagih Utang dan
berbagai cerita moral yang memiliki nilai pendidikan dalam menghadapi hidup.
Mbah
Rati pernah sekolah hingga kelas 2 (SR), namun yang diajarkan dengan aksara
jawa bukan aksara latin. Mbah Setri (65), dan Wiji (72) yang menjadi teman
Kentrung beberapa tahun terakhirpun jarang menjenguk beliau. Peralatan Kentrung
Mbah Rati adalah peninggalan pemain Kentrung lama yang lebih sepuh dari Mbah
Rati sendiri, pemberi alat musik itu adalah Mbah Sumowage. Sumowage adalah
suami dari adik misanan Ibu Mbah
Surati.
Kami
pun berusaha meminta Mbah Rati untuk bermain kentrung sebentar, beliau pun
menyanggupi dengan semangat, namun ia minta dipanggilkan pengiring kentrungnya,
yaitu Mbah Setri dan Mbah Wiji. Pak Edi Kepala Desa Bate yang sedari awal
mendampingi kami segera memanggil Mbah Setri dan menjemput Mbah Wiji. Setelah
mereka berkumpul akhirnya mereka mengambil alat – alat kentrung kuno yang
berada di kamar Mbah Rati. Walaupun telah lama tidak bermain kentrung, namun
permainan Mbah Setri dan Mbah Wiji masih mampu mengiringi lantunan syair dari Mbah Rati. Pukulan Kendang Mbah Rati pun masih nyaring,
walau sesekali beliau harus berhenti mengambil nafas dalam – dalam untuk
melanjutkan syair – syair kentrungnya.
Aksi Trio Kentrung Desa Bate, Mbah Setri (kiri), Mbah Surati (tengah), dan Mbah Wiji (kanan) Foto : Novi BMW |
Satu
lagu Kentrung selesai dimainkan, kami pun berencana untuk melanjutkan
perjalanan, namun Mbah Rati malah meminta kami untuk mendengarkan satu lagu
lagi. Mbah Rati beralasan bahwa kami telah datang jauh – jauh dari Yogyakarta,
karena tidak mampu memberi suguhan makan atau minum, jadi beliau hanya mampu
menyuguhkan Kentrung. Kami pun mendengarkan lantunan syair kedua Kentrung Mbah
Rati yang berjudul Nagih Utang, mengisahkan tentang anak manusia yang terlilit
hutang. Setelah syair usai dilantunkan, ternyata Mbah Rati masih menambahkan
satu syair lagi, ia beralasan lagu ini adalah lagu penutup dari pementasan
Kentrung. Kami pun duduk terpana dengan permainan Trio Kentrung Desa Bate ini.
Mbah
Rati sangat antusias dalam memainkan Kentrung, walau kami hanya meminta
cuplikan syair dalam permainan kentrung, namun Mbah Rati memberikan kami 3
syair lengkap. Terlihat dari mimik wajahnya, bermain Kentrung adalah hiburan beliau dihari itu, begitu
rindunya Mbah Rati dalam pentas Kentrung dan berkumpul dengan teman – teman
kentrungnya. Ia juga bahagia disaat ada orang yang dianggap “cucu -cucu” nya
sendiri berkunjung / bertamu kerumahnya. Tamu adalah cucu nya, cucu nya adalah
keluarganya, keluarganya adalah harapan terakhir dalam sisa hidupnya.
Foto bersama sang "cucu" dengan Trio Kentrung Foto : Drs. Sukari |
Mbah
Rati tidak memiliki keturunan, namun dahulu memiliki keponakan yang hidup
bersama, namun kini mereka telah meninggal dunia. Adapun cucu keponakan beliau
yang dahulu juga hidup bersama, namun kini telah menikah dan ikut suaminya ke
Surabaya. Kini Mbah Rati hidup sebatangkara menunggu belas kasih dari tetangga –
tetangga sekitarnya. Dengan kondisi yang telah renta, dengan mata yang tidak dapat melihat lagi, Mbah Rati tidak mampu keluar maupun melakukan
kegiatan keseharian sendiri.
Kini bukan harta – benda yang Mbah
Rati harapkan hadir, melainkan hanyalah perhatian dari seseorang yang mampu
memecah kesunyiannya dalam ruang pengab rumahnya. Seseorang berkunjung yang
dianggapnya keluarga karena mampu memberikan penerangan dicelah gelap - gulita
penglihatannya. Dan seorang tamu yang dianggap “cucu” untuk menghibur kehampaan
hidupnya. Beliau pun hanya pasrah menerima nasib nya dari Tuhan yang Maha
pemberi dan Maha berkehendak. Mbah Rati mengungkap keinginan terakhirnya dengan
tegas, beliau berharap mati saat di atas PANGGUNG KENTRUNG[9].
Ditulis Oleh : Novi BMW
PBB03, Kamis, 26/06/2014
Ditulis Oleh : Novi BMW
PBB03, Kamis, 26/06/2014
[1]
Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta (BPNB Yogyakarta)
[2]
Warisan Budaya Tak / Tidak Benda (WBTB)
[3]
Hal ini mayoritas disebabkan tanah gerak yang dimiliki wilayah Kab. Bojonegoro,
sehingga aspal mudah pecah dan bergelombang, sedangkan untuk masalah
minoritasnya... itu teknis saja.
[4]
Seperti rumah kosong yang telah ditinggalkan cukup lama, tertutup dan tidak
terawat dengan baik.
[5]
Sayang kami lupa mencatat nama beliau
[6]
Mbah Rati menghabiskan hari – harinya diatas kursi panjang yang sekaligus
dijadikannya tempat tidur.
[7]
Lalu selama bertahun tahun siapa ya yang mencuci baju mbah Rati, apakah beliau
hanya memakai baju seadanya, tanpa dicuci (terlihat dari baju berjamurnya)? terus kalau kekamar mandi bagaimana? jika sakit siapa yang merawatnya? :'(
[8]
Wadah nasi berukuran kecil terbuat dari daun pisang
[9]
Ungkapan tersebut merupakan kekhawatiran hati Mbah Rati. Beliau tidak ingin
mati sendiri dalam gelap & pengabnya gubuk reot rumahnya. Oleh karenanya ia
berharap ada banyak orang yang menemani disaat – saat terakhirnya, dengan
kentrung sebagai media hidup dan matinya.