Kompleks Makam Raden Adipati Haryo Matahun (Foto : Novi BMW, 28/08/2014) |
Kondisi kompleks makam kini telah dibangun dengan porselin, dan
cungkup makam yang diperbaiki sehingga tidak tampak arsitektur kuno dari sebuah
situs Cagar Budaya. Memang pada tahun 2005 kompleks Makam Adipati Haryo Matahun
ini telah dipugar total atas perintah HM. Santoso, Bupati Kabupaten Bojonegoro
kala itu.
Mengenai nama “Matahun” kita teringat dengan salah satu daerah Kerajaan
vasal dari Kerajaan Majapahit. Dalam Prasasti maupun kitab susastra masa
Majapahit, kita akan mengenal nama Bathara
i Matahun. Bathara adalah sebutan
untuk seorang Raja, “i” merupakan
kata tunjuk tempat yang berarti “di”, sedangkan ”Matahun” adalah sebutan untuk
suatu wilayah lungguh raja yang disebutkan. Apakah wilayah Matahun pada masa
Majapahit ini sama dengan wilayah Matahun masa Kesultanan?
Serat Sejarah Matahunan (1862 J / 1931 M: 5) mengungkapkan tentang
perjalanan utusan Raden Atmasupana II, yaitu Mas Sagus Suwondo, Mas
Onggasemita, dan Rengga Drana untuk mencari lokasi serta berziarah ke Makam
Raden Adipati Haryo Matahun pada 1857 M. Rombongan tersebut berhasil menemukan
& sampai di Astana Majaranu[1]
selang sepuluh hari dari keberangkatan. Kemudian diceritakan bahwa rombongan
tersebut kembali ke Surakarta menaiki “baita”
(perahu), hal ini menegaskan bahwa pada masa itu transportasi sungai dari hilir
ke hulu (atau sebaliknya) melalui Bengawan Solo masih ramai dipergunakan.
Pada tahun 1924
M, Raden Tumenggung Mangunwadana, seorang bupati anom pangreh praja kota
Surakarta, bermodalkan catatan dari Raden Atmasupana II, mencari kembali lokasi
makam Raden Adipati Haryo Matahun. Atas bantuan Masdana Aditenaya, seorang
pensiunan Patih Bujanegara[2],
berhasil menemukan lokasi makam di Dusun Ngraseh, Desa Mojoranu, Onder distrik Dander[3]
(Mangunwadana, 1862 J(1931M): 5-6).
Raden
Tumenggung Mangunwadana setelah melihat kondisi makam Raden Adipati Haryo
Matahun di astana Majaranu, kemudian tergerak untuk mengumpulkan
keturunan-keturunan Matahun untuk merawat makam leluhurnya tersebut. Oleh
karennya dibentuklah tim untuk mengumpulkan dan menelusuri keturunan dari Raden
Adipati Haryo Matahun. Hasil pendataan tersebut selain terkumpulnya dana
perawatan dan juga berhasil mendata keturunan – keturunan Matahun yang kemudian
lahirlah Serat Sejarah Matahunan.
Raden Adipati
Haryo Matahun gugur dalam peperangan melawan pasukan Madura[4]
dan Sampang di Badholeng, wilayah Sidayu (Gresik). Peperangan tersebut terjadi
karena Cakraningrat dari Madura tidak menghadap kepada Susuhunan Pakubuwono II
di Kartasura. Oleh karennya, Raden Adipati Haryo Matahun dan bala tentara
Jipang dikerahkan untuk menggempur Madura. Karena penguasa Sidayu, yaitu Raden
Tumenggung Secadiningrat adalah putra Cakraningrat dari Madura, maka
pertempuran pun terjadi di wilayah Sidayu, hingga gugurnya Raden Adipati Haryo
Matahun di palagan PaBadholeng.
Gugurnya Raden
Adipati Haryo Matahun terjadi pada hari Setu
(Sabtu) Kliwon, tanggal 3, bulan Ruwah, tahun Jimakhir dalam Candra Sengkala gana
(6) retu (6) obahing (6) jagad (1) atau tahun jawa “1666” (1735 M). Raden
Tumenggung Kramawijaya, putra Adipati Haryo Matahun yang menjadi adipati ing Japan (sekitar Mojokerto), membawa Jenazah
ayahnya tersebut ke wilayah Jipang. Akhirnya dimakamkan di Astana Majaranu[5],
wilayah Bojanegara.
Sumber : Mangunwadana, dkk. 1862 J(1931 M). Serat Sejarah Matahunan. Surakarta: Drukkerij Liem Goan Bie
Novi BMW
PBB11, Kamis, 25/09/2014
[1]
Astana Majaranu adalah lokasi makam Raden Adipati Haryo Matahun.
[2]
Bujanegara / Bojanegara, sekarang bernama resmi Bojonegoro
[3]
Sekarang Ngraseh menjadi desa tersendiri, dan pisah dengan Desa Mojoranu. Dua
desa tersebut kini berada di wilayah Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro.
[4]
Sebutan untuk kota Kerajaan dan atau pusat pemerintahan di daerah Bangkalan
barat.
[5]
Kini lokasi Makam masuk dalam wilayah administrasi Desa Ngraseh, karena telah
memisahkan diri dari Desa Majaranu.