Perahu Kuno di Desa Padang Foto : Deyana Nunung |
Aktifitas pelayaran sungai
berperan menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir atau sebaliknya,
daerah pesisiran ke daerah pedalaman, dan daerah pedalaman dengan daerah
pedalaman lainnya. Karena peranannya tersebut, maka aktifitas pelayaran ini
disebut sebagai pelayaran pedalaman. Bentuk transportasi air pada masyarakat
Jawa Kuno ada beberapa jenis, yaitu lancang (sampan), parahu (perahu),
tambangan (gethek), benawa (perahu besar), jong (jung), bahitra
(bahtera) (Suryo, 1995/1996).
Bengawan Solo dan Brantas
merupakan jalan utama distribusi maupun media transportasi cepat dari pedalaman
menuju daerah luar pulau jawa. Pada masa dimana transportasi darat masih tradisional
dan medan yang sulit, apalagi transportasi udara masih belum ditemukan, maka
transportasi air lah jalan utama. Sehingga keberadaan sungai pada masa kerajaan
bercorak Hindu-Budha hingga awal kolonialisme di Jawa sangatlah vital. Siapapun
yang menguasai wilayah DAS kedua sungai besar tersebut berarti pula menguasai
urat nadi perekonomian Jawa. Oleh karenanya, di sepanjang aliran sungai-sungai
besar dahulu terbentuk kota-kota yang maju sebagai kota pelabuhan di pedalaman
pulau.
Keberadaan
pelabuhan sungai di sepanjang tepian Bengawan Brantas dan Bengawan Solo terekam
dalam Prasasti Canggu (1280 Çaka). Pada lempeng ke-5 disebutkan nama-nama desa
pelabuhan (naditira pradeça) di tepi
Bengawan Brantas dan Bengawan Solo. Jika lempeng ke-4 dari prasasti ini dapat
ditemukan, maka jumlah pelabuhan di tepi Bengawan Brantas dapat ditelusuri
lebih lengkap dari daerah hulu hingga hilir. Adapun nama desa-desa pelabuhan
dalam Prasasti Canggu (1280 Çaka) adalah sebagai berikut:
Lempeng 5 sisi depan (recto):
1.
Nusa, i tĕmon, parajĕngan, i
pakatekan, i wunglu, i rabutri, i bañu mŗdu, i gocor, i tambak, i pujut,
2.
i mirĕng, ing dmak, i klung, i
pagdangan, i mabuwur, i godong, i rumusan, i canggu, i randu gowok, i wahas, i
nagara,
3.
i sarba, i waringin pitu, i
lagada, i pamotan, i tulangan, i panumbangan, i jruk, i trung, i kambang çri, i
tda, i gsang, i
4.
bukul, i çurabhaya, muwah
prakāraning naditira pradeça sthānaning anāmbangi i madantĕn, i waringin wok, i
bajrapura, i
5.
sambo, i jerebeng, i pabulangan,
i balawi, i luwayu, i katapang, i pagaran, i kamudi, i parijik, i parung, i
pasi-
6.
wuran, i kedal, i bhangkal, i
widang, i pakbohan, i lowara, i duri, i raçi, i rewun, i tgalan, i dalangara, i
Lempeng 5 sisi
belakang (verso):
1.
sumbang, i malo, i ngijo, i
kawangen, i sudah, i kukutan, i balun, i marebo, i turan, i jipang, i ngawi, i
wangkalang,
2.
i pnuh, i walung, i barang, i
pakatelan, i wareng, ing amban, i kembu, i wulayu, sarwwe, ika ta kabeh,
naditirapradeça.... (Pigeaud,
1960).
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia:
Lempeng 5 sisi depan (recto):
1. Nusa, di Temon, Parajengan, di
Pakatekan, di Wunglu, di Rabut Ri, di Banu Mrdu, di Gocor, di Tambak, di Pujut,
2. di Mireng, di Dmak, di Klung, di
Pagdangan, di Mabuwur, di Godong, di Rumusan, di Canggu, di Randu Gowok, di
Wahas, di Nagara,
3. di Sarba, di Waringinpitu, di
Lagada, di Pamotan, di Tulangan, di Panumbangan, di Jruk, di Trung, di Kambang
Çri, di Tda, di Gsang, di
4. Bukul, di Çurabhaya, Juga segala
macam masalah di wilayah pinggir sungai tempat penyebrangan di Madanten, di
Waringin Wok, di Bajrapura, di
5. Sambo, di Jerebeng, di
Pabulangan, di Balawi, di Luwayu, di Katapang, di Pagaran, di Kamudi, di
Parijik, di Parung, di Pasi-
6. wuran, di Kedal, di Bhangkal, di
Widang, di Pakbohan, di Lowara, di Duri, di Raçi, di Rewun, di Tgalan, di Dalangara,
di
Lempeng 5 sisi belakang (verso):
1. Sumbang, di Malo, di Ngijo, di
Kawangen, di Sudah, di Kukutan, di Balun, di Marebo, di Turan, di Jipang, di
Ngawi, di Wangkalang,
2. di Pnuh, di Walung, di Barang, di
Pakatelan, di Wareng, di Amban, di Kembu, di Wulayu, itulah seluruh, wilayah
pinggir sungai.... (Munib, 2011: 66-67).
Beberapa nama naditira pradeça yang disebutkan dalam
Prasasti Canggu tersebut, sampai sekarang masih dapat ditemukan pada sekitar aliran
Bengawan Brantas dan Bengawan Solo. Seperti contohnya desa pelabuhan di muara
Bengawan Solo, yaitu Madantĕn menjadi
Desa Bedanten di Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik. Sambo, Jerebeng, Pabulangan berturut-turut menjadi Desa
Sambogunung, Desa Jrebeng, dan Desa Bulangan di Kecamatan Dukun, Kabupaten
Gresik. Balawi menjadi Desa Blawi,
Kecamatan Karangbinangun, Kabupaten Lamongan.
Untuk Luwayu hingga sekarang masih belum dapat
diidentiikasi, sedangkan Katapang, dan
Kamudi hepotesa sementara kita
posisikan pada Desa Ketapang, Kec. Karangbinangun dan Desa Kepudi, Kec. Turi
Kab. Lamongan. Adapun Desa Pagaran saat
ini belum mampu dilokalisasikan.
Toponimi Desa Parijik sekarang menjadi Desa Taman
Prijeg, Kec. Laren. Sedangkan Desa
Parung, Pasiwuran, dan Kedal secara
berturut turut dapat diidentifikasi sebagai, Desa Parengan, Desa Siwuran, dan
Desa Kendal di Kecamatan Sekaran Kab. Lamongan. Sedangakn Desa Bangkal belum dapat diidentifikasi
lokasinya.
Selanjutnya ada
Desa Widang yang hingga sekarang
masih tetap sama bernama Desa Widang Kec. Widang, Kab. Tuban. Setelah itu
barulah masuk ke beberapa desa yang dapat diprediksi berada di wilayah Kab.
Bojonegoro. Namun sayang identifikasi dari Desa pakbohan, lowara, duri, raçi,
rewun, tgalan, dan dalangara
belum dapat ditemukan. Kita dapati lagi mulai Desa Sumbang yang sekarang tetap menjadi Sumbang timun di Kecamatan
Trucuk. Desa Malo menjadi nama ibukota Kecamatan Malo, namun Desa Ngijo belum dapat diidentifikasi. Adapun
identifikasi Desa Kawangen masih kita
dapati dua toponim yaitu Desa Kawengan, Kec. Kadewan dan dukuh Kwangen, Kec.
Kalitidu[1].
Lokasi Desa Sumbang Sumber Peta : www.google.com/maps/Kreasi : Novi BmW |
Kemudian
disebutkan adanya Desa Sudah, yang
hingga sekarang masih menjadi nama desa di Kec. Malo. Sedang Desa Kukutan belum dapat diidentifikasi,
namun Desa Balun hingga sekarang
masih menjadi nama desa di Kec. Cepu, Kab. Blora. Untuk Desa Marebo dan Turan belum dapat
diidentifikasi, namun untuk nama Desa Jipang
hingga sekarang masih dapat ditemukan berada di Kec. Cepu, Kab. Blora.
Kemudian Ngawi, yang sekarang menjadi nama kabupaten di selatan Kabupaten
Bojonegoro.
Keberadaan
Desa-desa pelabuhan pinggir sungai di wilayah Kabupaten Bojonegoro sejak masa
Majapahit, membuktikan bahwa wilayah ini merupakan wilayah yang maju dengan
pusat pelabuhannya. Adanya pelabuhan merupakan bukti aktifnya mobilitas
masyarakat dalam berkehidupan mewarnai sejarah Nusantara. Oleh karenanya, perlu
diadakan penelitian lebih lanjut dalam upaya rekonstruksi peradaban lembah
Bengawan Solo di wilayah Bojonegoro, terutama identifikasi Pelabuhan Lowara[2]
berada di sekitar wilayah Bojonegoro Timur, bukan Desa Ngloram[3] di
Kec.Cepu yang selama ini diperkirakan masyarakat umum.
Daftar Rujukan :
Munib, N.B. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja
Jayakatwang di Kerajaan Glang-Glang
Tahun 1170 - 1215 Caka: Tinjauan Geopolitik . Malang : Univ. Negeri Malang
Pigeaud, Th G T. 1960. Java in the fourteenth
century: A study in cultural history: The Nagarakrtagama by Yakawi Prapanca of
Majapahit 1365 AD. Vol I. The Hague: Martinus Nijhoff.
Suryo,
D, dkk. 1995/1996. Dinamika Sosial Budaya Masyarakat di Pulau Jawa Abad
VIII-XX. Yogyakarta: Kerjasama Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah
Tingkat I Jawa Timur dengan Fakultas Sastra UGM.
Novi BMW
PBB02
[1] Kedua
lokasi daerah ini tidak berada di tepian Bengawan Solo, sehingga belum begitu
kuat identifikasi diantara keduanya, ataukah dahulu merupakan nama daerah yang
meliputi wilayah hingga pinggir Bengawan?
[2] Bila dirunut dari posisi pelabuhan Widang, maka
identifikasi pelabuhan Lowara adalah di wilayah Bojonegoro timur. Nama Lowara
begitu terkenal dalam sejarah Nasional sebagai lokasi awal serangan Raja
Worawari terhadap Dharmawangsa Tguh
[3] Desa Ngloram diidentifikasi merupakan salah satu wilayah
Jipang, jadi keberadaan Desa Ngloram masa kerajaan belum muncul.
Mantabs....tulisan ini bisa menjadi tambahan wawasan sejarah lokal bojonegoro.
BalasHapusIjin share dek. (Lama ga buka blog soalnya)