Rabu, 25 Juni 2014

KENTRUNG MBAH SURATI

Minggu, 18 Mei 2014, pagi itu setelah mencuci baju yang kotor hasil blusukan ke Kec. Kasiman pada hari Sabtu, aku pun segera menuju salah satu Hotel di pinggiran Kota Bojonegoro untuk menjemput Drs. Sukari. Beliau adalah salah satu peneliti senior dari BPNB[1] Yogyakarta yang sedang melakukan pendataan WBTB[2] di wilayah Bojonegoro - Tuban. Hari ke tujuh (7) ini jadwal kami mencari seorang Maestro Kentrung di wilayah perbatasan antara Kabupaten Bojonegoro – Tuban, tepatnya di Desa Bate, Kec. Bangilan, Kab. Tuban.

Kentrung merupakan kesenian sastra tradisional yang cukup populer di Jawa Timur (itu dulu), terutama dari wilayah Pantai utara Jawa Timur. Kesenian Kentrung dimainkan oleh seorang dalang tanpa wayang, seiring lantunan syair merdu dari sang dalang, kesenian ini diiringi oleh alat musik kendang, terbang, dan ketipung. isi syair - syairnya bermuatan ajaran moral tradisional jawa maupun islam. Kentrung yang legendaris adalah Kentrung Bate, karena berasal dari Desa Bate, Kec. Bangilan, Kab, Tuban.
Peta Loksi Desa Bate, Kec. Bangilan, Kab. Tuban
Foto : Novi BMW
Sesungguhnya lokasi Desa Bate, Kec. Bangilan berbatasan dengan Kecamatan Kadewan, Kab. Bojonegoro, namun mengingat kondisi jalan yang hancur, maka kamipun memutuskan untuk melewati jalur Bus arah Jatirogo, dan saat sampai di Kecamatan Bangilan, belok ke selatan arah Kadewan. Dan memanglah berbeda, antara jalan kecamatan wilayah Bojonegoro yang bergelombang cenderung lobang[3], dengan jalan desa wilayah Tuban yang aspal cenderung mulus.

Sesampainya di Kecamatan Bangilan kami pun mencari Desa Bate, lokasinya masih sangat asri, jauh dari hiruk pikuk jalan raya Kecamatan Bangilan – Kadewan. Sawah yang luas dan berwarna hijau disaat musim tanam telah usai, kami mencari rumah Kepala Desa Bate. Pak Edi adalah Kepala Desa yang baru terpilih, kami pun bertanya kepada beliau tentang rumah seorang nenek warga desa Bate yang telah menjadi Maestro Kentrung, Mbah Surati namanya.

Pak Edi malah balik bertanya, karena ia baru kali ini mendengar adanya pemain Kentrung Senior di Desa Bate. Beliaupun mencoba menghubungi perangkat desa yang telah lama mengabdi pada desa. Akhirnya Pak Modin Bate pun datang mengkonfirmasi keberadaan seorang nenek yang menjadi pemain Kentrung, Mbah Rati namanya. Memang penduduk desa lebih mengenal nama Mbah Surati dengan nama pendeknya, yaitu Mbah Rati. Dari informasi Pak Modin, Pak Edi Sang Kepala Desa Bate pun penasaran dengan sosok Maestro Kentrung di Tuban tersebut. Oleh karenanya kami diantar menuju lokasi rumah Mbah Rati.

Sepanjang jalan menuju rumah Mbah Rati, kami menelusuri lika – liku gang – gang sempit yang telah dipaving dan jalan mester (jalan lantai semen). Kanan kiri rumah masyarakat dengan sapi – sapi yang gemuk serta tumpukan jerami – jerami kering menjadi ciri masyarkat pertanian Desa Bate. Terlihat bahwa ternak Sapi adalah aset berharga, sekaligus wujud strata sosial masyarakat petani desa.

Sesampainya di ujung jalan, kami melihat hamparan sawah dan tebing curam. Rumah Mbah Surati berada di ujung jalan tersebut. rumah dari papan kayu, bersebelahan dengan kandang sapi itu tertutup tanpa ada tanda – tanda kehidupan[4]. Didampingi oleh tetangganya[5], kami pun mencoba memanggil Mbah Rati dari luar untuk meminta ijin bertemu, kami menunggu sekitar 15 untuk dibukakan pintu, namun tak kunjung dibuka, alih-alih membuka mbah Rati dengan lirih bersuara parau dari dalam menyahut agar tetangganya itu langsung membuka pintu sendiri.

Setelah dipersilahkan masuk oleh tetangganya Mbah Rati, kami pun terhenyak dan miris melihat sosok Mbah Rati yang duduk di kursi atau temat tidurnya[6]. 15 menit kami menunggu di luar ternyata Mbah Rati berusaha berdiri, dan kebingungan mencari tongkatnya yang terjatuh, karena gagal mencari maka beliau menyuruh tetangganya tersebut membuka pintu rumahnya sendiri.
Mbah Surati Sang Maestro Kentrung
Foto : Novi BMW
Mbah Rati dengan tubuh tuanya yang lusuh, berambut putih, dengan luka – luka di kakinya. Beliau menceritakan bahwa ia telah berusia lebih dari 100 tahun, beliau pun tidak ingat kapan lahir kedunia. Walau masih memiliki ingatan sehat, serta mampu mendengarkan dengan baik, namun Mbah Rati kini tunanetra dan tak lagi mampu berjalan maupun berdiri terlalu lama. Dengan kondisi seperti itu, beliau meminta kami, yang dianggap “cucu - cucu” nya dari jauh harap maklum dengan kondisi rumah yang tidak terawat.

Terlihat baju kumal, lusuh, dan kain putih yang menyelimuti beliau telah menjamur[7]. Kondisi meja – kursi yang lama tidak terpakaipun telah penuh dengan debu. Di bawah kursi dan meja penuh dengan takir[8] kering dengan sisa nasi atau makanan yang telah menjamur. Bau tidak sedap dan suhu ruangan yang pengap terasa menyesakkan dada. Dinding – dinding kayu yang berlubang, atap genting yang bocor, lantai tanah yang lembab dan jika hujan turun dari celah-celah atap yang bocor, airpun membuat laintai becek. Ruang tamu dipenuhi barang – barang bekas serta tumpukan gabah dalam karung, itulah kondisi suasana rumah Mbah Rati. Adapun aliran listrik untuk lampu peneraangan baru dialirkan oleh tetangganya beberapa bulan lalu, itupun menurut Mbah Rati sama saja, beliau tetap gelap karena tidak mampu lagi melihat dunia.
Atap Bocor dan dinding kayu kusam berjamur akibat tetesan air hujan
Foto : Novi BMW
Tersingkap luka – luka di kakinya akibat sering terjatuh/terpeleset saat ia berusaha berjalan di dalam pengapnya gubuk reot nan gelap gulita. Dikala musim hujan, deritanya pun bertambah, atap bocor membanjiri lantai tanah yang becek licin bercampur sampah makanan yang tersisa tanpa mampu ia bersihkan karena gangguan penglihatannya. Aroma dari kandang sapi disebelah rumahpun turut memperparah kondisi ruang gubuknya.
Rumah Mbah Surati bersebelahan dengan Kandang Sapi Tetangganya
Foto : Novi BMW
Makanan dikirim beberapa tetangganya yang iba dengan kondisi Mbah Rati yang hidup sebatangkara. Dahulu para tetangganya pernah lupa mengirim Mbah Rati makanan hingga tiga / empat hari, sehingga masyarakat mengira Mbah Rati telah meninggal dunia karena kelaparan tanpa makan dan minum. Namun Tuhan memberikan keajaiban, Mbah Rati walaupun lemas masih diberi umur panjang hingga kini. Bahkan beliau sempat di undang Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo untuk tampil Kentrung. Sepulang dari undangan Gubernur, beliau mendapatkan dana bantuan Rp. 30.000.000,- untuk tiga orang pemain Kentrung Mbah Rati. Dana bantuan tersebut kemudian dibelikan seekor Sapi yang kini dirawat tetangganya.

Tidak terasa air mataku pun mulai mencoba menyembul keluar, aku dan Drs. Sukari hanya mampu sebentar saling memandang seolah menyatakan perasaan yang sama. Dengan menahan gejolak didada dan di mata, akhirnya ku putuskan untuk keluar dari rumah untuk menikmati pemandangan sawah di depan rumah. Ku lihat kandang sapi disebelah rumah, dan juga beberapa penduduk desa memikul rumput untuk ternak mereka. Adapula yang menyiangi sawah dengan anak istri turut membantu. Setelah mampu mengendalikan diri akupun kembali ke dalam rumah.
Sawah depan rumah Mbah Surati

Drs. Sukari pun melanjutkan wawancara mengenai asal mula Kentrung di wilayah Bate. Ternyata Mbah Rati adalah generasi ke-3 dari pemain kentrung legendaris, yaitu Mbah Dasiman, kemudian ia mewarisi Kentrung dari Ibunya. Dimasa mudanya, sering turut ngamen kentrung keliling Tuban, Bojonegoro dan sekitarnya untuk menyambung hidup. Selain itu juga tak jarang diundang mengisi acara khitanan, nikah dan beberapa acara para tokoh di Tuban, dan keluar kota. Pemain kentrung hanya 3 orang dengan alat musik, kendang, terbang dan ketipung. Mbah Rati sebagai dalang Kentrung sekaligus memainkan kendang.

Mbah Rati prihatin setelah kematian suaminya tahun 2009 lalu, akan tidak adanya regenerasi yang dapat meneruskan Kentrung. Walaupun ada yang diajak untuk pentas, sebatas memainkan alat musik terbang dan ketipung, sedangkan menyahut lagu kentrungannya belum ada yang mampu. Sehingga Mbah Rati hanya sendiri saat melantunkan lagu kentrung. Selain itu kendala kurangnya tanggapan (undangan tampil) membuat regenerasi sulit, karena dinilai kentrung tidak menanjikan dan bukan kesenian yang menarik.

Untuk Belajar Kentrung, dahulu Mbah Rati saat kecil sering diajak ngamen Ibunya, sehingga dia hafal dan mampu memainkan alat-alat serta menyayikan syair-syair Kentrung. Dahulu ngamen kentrung keliling wilayah Tuban hingga 10 hari sekali baru pulang, dan saat diperjalanan sering menginap di rumah – rumah perangkat desa.
Alat Kentrung Mbah Surati
Foto : Novi BMW
Waktu pertunjukan kentrung biasanya antara pkl. 21.00 – 04.00 WIB dengan mahar pentas Rp. 2.000.000,-. Semangat Mbah Rati hingga kinipun tidak surut, dan masih berkobar saat ditanya apakah Mbah Rati masih sanggup bila ada yang meminta tanggapan. Mbah Rati menyanggupi dengan suara semangat, seolah menyiratkan harapannya untuk melihat dunia luar yang lama jauh darinya, walaupun kini tak mampu lagi dilihat & dinikmatinya. Minimal Mbah Rati mampu bernostalgia untuk menghibur dirinya serta keluar dari kungkungan ruang gelap nan pengab dalam rumahnya yang tak terawat.

Mbah Rati masih berhasrat untuk tampil lagi di luar kota dengan dijemput dan dipapah saat menuju panggung, serta menjelaskan suaranya yang tidak semerdu dahulu, dan kini suara yang tersisa adalah suara merdu yang serak – serak basah. Cerita yang Mbah Rati mainkan dalam pagelarkan beberapa cerita yang sering dia bawakan adalah : Siti Zulaikha, Terang Wulan, Wulan Suci, Sukosengkoro, Nagih Utang dan berbagai cerita moral yang memiliki nilai pendidikan dalam menghadapi hidup.

Mbah Rati pernah sekolah hingga kelas 2 (SR), namun yang diajarkan dengan aksara jawa bukan aksara latin. Mbah Setri (65), dan Wiji (72) yang menjadi teman Kentrung beberapa tahun terakhirpun jarang menjenguk beliau. Peralatan Kentrung Mbah Rati adalah peninggalan pemain Kentrung lama yang lebih sepuh dari Mbah Rati sendiri, pemberi alat musik itu adalah Mbah Sumowage. Sumowage adalah suami dari adik misanan Ibu Mbah Surati.

Kami pun berusaha meminta Mbah Rati untuk bermain kentrung sebentar, beliau pun menyanggupi dengan semangat, namun ia minta dipanggilkan pengiring kentrungnya, yaitu Mbah Setri dan Mbah Wiji. Pak Edi Kepala Desa Bate yang sedari awal mendampingi kami segera memanggil Mbah Setri dan menjemput Mbah Wiji. Setelah mereka berkumpul akhirnya mereka mengambil alat – alat kentrung kuno yang berada di kamar Mbah Rati. Walaupun telah lama tidak bermain kentrung, namun permainan Mbah Setri dan Mbah Wiji masih mampu mengiringi lantunan syair dari Mbah Rati. Pukulan Kendang Mbah Rati pun masih nyaring, walau sesekali beliau harus berhenti mengambil nafas dalam – dalam untuk melanjutkan syair – syair kentrungnya.
Aksi Trio Kentrung Desa Bate, Mbah Setri (kiri), Mbah Surati (tengah), dan Mbah Wiji (kanan)
Foto : Novi BMW

Satu lagu Kentrung selesai dimainkan, kami pun berencana untuk melanjutkan perjalanan, namun Mbah Rati malah meminta kami untuk mendengarkan satu lagu lagi. Mbah Rati beralasan bahwa kami telah datang jauh – jauh dari Yogyakarta, karena tidak mampu memberi suguhan makan atau minum, jadi beliau hanya mampu menyuguhkan Kentrung. Kami pun mendengarkan lantunan syair kedua Kentrung Mbah Rati yang berjudul Nagih Utang, mengisahkan tentang anak manusia yang terlilit hutang. Setelah syair usai dilantunkan, ternyata Mbah Rati masih menambahkan satu syair lagi, ia beralasan lagu ini adalah lagu penutup dari pementasan Kentrung. Kami pun duduk terpana dengan permainan Trio Kentrung Desa Bate ini.

Mbah Rati sangat antusias dalam memainkan Kentrung, walau kami hanya meminta cuplikan syair dalam permainan kentrung, namun Mbah Rati memberikan kami 3 syair lengkap. Terlihat dari mimik wajahnya, bermain Kentrung adalah hiburan beliau dihari itu, begitu rindunya Mbah Rati dalam pentas Kentrung dan berkumpul dengan teman – teman kentrungnya. Ia juga bahagia disaat ada orang yang dianggap “cucu -cucu” nya sendiri berkunjung / bertamu kerumahnya. Tamu adalah cucu nya, cucu nya adalah keluarganya, keluarganya adalah harapan terakhir dalam sisa hidupnya.
Foto bersama sang "cucu" dengan Trio Kentrung
Foto : Drs. Sukari
Mbah Rati tidak memiliki keturunan, namun dahulu memiliki keponakan yang hidup bersama, namun kini mereka telah meninggal dunia. Adapun cucu keponakan beliau yang dahulu juga hidup bersama, namun kini telah menikah dan ikut suaminya ke Surabaya. Kini Mbah Rati hidup sebatangkara menunggu belas kasih dari tetangga – tetangga sekitarnya. Dengan kondisi yang telah renta, dengan mata yang tidak dapat melihat lagi, Mbah Rati tidak mampu keluar maupun melakukan kegiatan keseharian sendiri.

Kini bukan harta – benda yang Mbah Rati harapkan hadir, melainkan hanyalah perhatian dari seseorang yang mampu memecah kesunyiannya dalam ruang pengab rumahnya. Seseorang berkunjung yang dianggapnya keluarga karena mampu memberikan penerangan dicelah gelap - gulita penglihatannya. Dan seorang tamu yang dianggap “cucu” untuk menghibur kehampaan hidupnya. Beliau pun hanya pasrah menerima nasib nya dari Tuhan yang Maha pemberi dan Maha berkehendak. Mbah Rati mengungkap keinginan terakhirnya dengan tegas, beliau berharap mati saat di atas PANGGUNG KENTRUNG[9].

Ditulis Oleh : Novi BMW
PBB03, Kamis, 26/06/2014



[1] Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta (BPNB Yogyakarta)
[2] Warisan Budaya Tak / Tidak Benda (WBTB)
[3] Hal ini mayoritas disebabkan tanah gerak yang dimiliki wilayah Kab. Bojonegoro, sehingga aspal mudah pecah dan bergelombang, sedangkan untuk masalah minoritasnya... itu teknis saja.
[4] Seperti rumah kosong yang telah ditinggalkan cukup lama, tertutup dan tidak terawat dengan baik.
[5] Sayang kami lupa mencatat nama beliau
[6] Mbah Rati menghabiskan hari – harinya diatas kursi panjang yang sekaligus dijadikannya tempat tidur.
[7] Lalu selama bertahun tahun siapa ya yang mencuci baju mbah Rati, apakah beliau hanya memakai baju seadanya, tanpa dicuci (terlihat dari baju berjamurnya)? terus kalau kekamar mandi bagaimana? jika sakit siapa yang merawatnya? :'(
[8] Wadah nasi berukuran kecil terbuat dari daun pisang
[9] Ungkapan tersebut merupakan kekhawatiran hati Mbah Rati. Beliau tidak ingin mati sendiri dalam gelap & pengabnya gubuk reot rumahnya. Oleh karenanya ia berharap ada banyak orang yang menemani disaat – saat terakhirnya, dengan kentrung sebagai media hidup dan matinya.