Minggu, 13 September 2015

RIWAYAT BENGAWAN SOLO

Dermaga Penyebrangan di Bengawan Solo
(Foto : Novi BMW, 26/01/2015)
Aktifitas pelayaran sungai berperan menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir atau sebaliknya, daerah pesisiran ke daerah pedalaman, dan daerah pedalaman dengan daerah pedalaman lainnya. Karena peranannya tersebut, maka aktifitas pelayaran ini disebut sebagai pelayaran pedalaman. Bentuk transportasi air pada masyarakat Jawa Kuno ada beberapa jenis, yaitu lancang (sampan), parahu (perahu), tambangan (gethek), benawa (perahu besar), jong (jung), bahitra (bahtera) (Suryo, 1995/1996).
Bengawan Solo dan Brantas merupakan jalan utama distribusi maupun media transportasi cepat dari pedalaman menuju daerah luar pulau jawa. Pada masa dimana transportasi darat masih tradisional dan medan yang sulit, apalagi transportasi udara masih belum ditemukan, maka transportasi air lah jalan utama. Sehingga keberadaan sungai pada masa kerajaan bercorak Hindu-Budha hingga awal kolonialisme di Jawa sangatlah vital. Siapapun yang menguasai wilayah DAS kedua sungai besar tersebut berarti pula menguasai urat nadi perekonomian Jawa. Oleh karenanya, di sepanjang aliran sungai-sungai besar dahulu terbentuk kota-kota yang maju sebagai kota pelabuhan di pedalaman pulau.
Bengawan Solo dimasa sebelum Kesultanan Mataram lahir, lebih dikenal dengan nama “Bangawan Wulayu”. Penamaan “Wulayu” diambil dari nama daerah (Desa) pelabuhan di area Hulu, dimana diperkirakan sebagai desa naditira pradeça (pelabuhan sungai) yang ramai di pedalaman Pulau Jawa. Nama “Wulayu” diabadikan dalam Prasasti Canggu (1280 Çaka) Lempeng ke-5 baris 2, sebagai pelabuhan terakhir di Bengawan.
Keberadaan pelabuhan sungai di sepanjang tepian Bengawan Brantas dan Bengawan Solo terekam dalam Prasasti Canggu (1280 Çaka). Pada lempeng ke-5 disebutkan nama-nama desa pelabuhan (naditira pradeça) di tepi Bengawan Brantas dan Bengawan Solo. Jika lempeng ke-4 dari prasasti ini dapat ditemukan, maka jumlah pelabuhan di tepi Bengawan Brantas dapat ditelusuri lebih lengkap dari daerah hulu hingga hilir. Adapun nama desa-desa pelabuhan dalam Prasasti Canggu (1280 Çaka) yang diperkirakan dahulu berada di sekitar wilayah Bojonegoro sekarang adalah sebagai berikut:

Lempeng 5 sisi depan (recto):
6. .................. , i widang, i pakbohan, i lowara, i duri, i raçi, i rewun, i tgalan, i dalangara, i

Lempeng 5 sisi belakang (verso):
1.     sumbang, i malo, i ngijo, i kawangen, i sudah, i kukutan, i balun, i marebo, i turan, i jipang, i ngawi, i wangkalang,
2.     i pnuh, i walung, i barang, i pakatelan, i wareng, ing amban, i kembu, i wulayu, sarwwe, ika ta kabeh, naditirapradeça.... (Pigeaud, 1960).

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Lempeng 5 sisi depan (recto):
6.    .............. di Widang, di Pakbohan, di Lowara, di Duri, di Raçi, di Rewun, di Tgalan, di Dalangara, di

Lempeng 5 sisi belakang (verso):
1.     Sumbang, di Malo, di Ngijo, di Kawangen, di Sudah, di Kukutan, di Balun, di Marebo, di Turan, di Jipang, di Ngawi, di Wangkalang,
2.     di Pnuh, di Walung, di Barang, di Pakatelan, di Wareng, di Amban, di Kembu, di Wulayu, itulah seluruh, wilayah pinggir sungai.... (Munib, 2011).

Beberapa nama naditira pradeça yang disebutkan dalam Prasasti Canggu tersebut, sampai sekarang masih dapat ditemukan, Seperti contohnya desa pelabuhan Widang yang hingga sekarang masih tetap sama bernama Desa Widang Kec. Widang, Kab. Tuban. Setelah itu barulah masuk ke beberapa desa yang dapat diprediksi berada di wilayah Kab. Bojonegoro. Namun sayang identifikasi dari Desa  pakbohan, lowara, duri, raçi, rewun, tgalan, dan dalangara belum dapat ditemukan.
Kita dapati mulai Desa Sumbang yang sekarang tetap menjadi Sumbang Timun di Kecamatan Trucuk. Desa Malo menjadi nama ibukota Kecamatan Malo, namun Desa Ngijo belum dapat diidentifikasi. Adapun identifikasi Desa Kawangen masih kita dapati dua toponim yaitu Desa Kawengan, Kec. Kadewan dan Dukuh Kwangen, Kec. Kalitidu[1].
Kemudian disebutkan adanya Desa Sudah, yang hingga sekarang masih menjadi nama desa di Kec. Malo. Sedang Desa Kukutan belum dapat diidentifikasi, namun Desa Balun hingga sekarang masih menjadi nama desa di Kec. Cepu, Kab. Blora. Untuk Desa Marebo dan Turan  belum dapat diidentifikasi, namun untuk nama Desa Jipang hingga sekarang masih dapat ditemukan berada di Kec. Cepu, Kab. Blora. Kemudian Ngawi, yang sekarang menjadi nama kabupaten di selatan Kabupaten Bojonegoro.
Keberadaan Desa-desa pelabuhan pinggir sungai di wilayah Kabupaten Bojonegoro sejak masa Majapahit, membuktikan bahwa wilayah ini merupakan wilayah yang maju dengan pusat pelabuhannya. Adanya pelabuhan merupakan bukti aktifnya mobilitas masyarakat dalam berkehidupan mewarnai sejarah Nusantara. Oleh karenanya, perlu diadakan penelitian lebih lanjut dalam upaya rekonstruksi peradaban lembah Bengawan Solo di wilayah Bojonegoro, terutama identifikasi Pelabuhan Lowara[2] berada di sekitar wilayah Bojonegoro Timur, bukan Desa Ngloram[3] di Kec.Cepu yang selama ini diperkirakan masyarakat umum.
Di akhir masa Majapahit, kita dapati pula laporan perjalanan Bujangga Manik dari Sunda menuju Pulau Bali, ia melewati pula Sungai besar yang disebutnya “Ciwuluyu” (Sungai Wuluyu). Sungai Wuluyu ini merupakan penyebutan Bujangga Manik terhadap Bengawan Wulayu yang kini kita kenal dengan nama Bengawan Solo.
Ka kéncan jajahan Demak,
Ti wétan na Welahulu.
Ngalalaring ka Pulutan,
Datang ka Medang Kamulan.
Sacu(n)duk ka Rabut Jalu,
Ngalalaring ka Larangan
Sadatang aing ka Jempar,
Meu(n)tasing di Ciwuluyu,
Cu(n)duk ka lurah Gegelang,
Ti kidul Medang Kamulan,

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Ke sebelah kiri wilayah Demak,
Di timurnya Gunung Welahulu.
Aku berjalan lewat Pulutan,
Datang ke Medang Kamulan.
Setibanya ke Rabut Jalu,
Aku berjalan lewat Larangan.
Sesampainya aku ke Jempur,
Kuseberangi sungai Ciwuluyu,
Sampai ke daerah Gegelang,
Sebelah selatan Medang Kamulan,
(Noorduyn & Teeuw, 2009).

Kemudian  pada Masa Kesultanan Mataram hingga beberapa dekade sebelum Solo berkembang pesat menjadi Ibukota Pemerintahan Kasunanan Surakarta, nama Desa Semanggi menjadi tenar dari hulu hingga hilir disebut dengan Bengawan Semanggi. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa laporan maupun tulisan dari keraton, dan juga karya populer Babad Tanah Jawi. Sebutan untuk Bengawan Solo masih menggunakan “Banawi Semanggi” (Olthof, 2013).
Perahu Kayu Padang, Kec. Trucuk, Kab. Bojonegoro
(Foto : Novi BMW, 16/04/2015)
Semanggi kini adalah nama Kelurahan berada di ujung tenggara Kota Surakarta. Ada yang berpendapat bahwa Semanggi merupakan nama baru dari Wulayu. Dilihat dari pelabuhan Kembu, yang kini masuk wilayah Karanganyar, maka lokasi Wulayu pun seharusnya disekitar Surakarta, dan Semanggi tiba-tiba muncul menjadi dermaga terkenal. Oleh karenanya, dilihat dari perikiraan geografis dan perkembangan daerah, identifkasi Wulayu berada di sekitar atau bahkan kini berada di Kelurahan Semanggi.
Setelah Keraton dipindah dari Kartasura ke Dusun Solo, maka perkembangan sosial ekonomi di Solo pun berpengaruh terhadap sebutan para saudagar dari luar menuju pusat pemerintahan yang dekat dengan Bengawan. Maka Bengawan yang dekat dengan pusat keraton di Solo ini pun berubah disebut dengan Bengawan Solo higga kini. Bojonegoro yang kala itu masuk wilayah Kadipaten Jipang, juga menjadi salah satu urat nadi perdagangan melalui Bengawan Solo. Temuan Perahu Kayu di Desa Padang, Kec. Trucuk dan 2 perahu besi masa VOC telah membuktikan pentingnya jalur perdagangan di wilayah Bojonegoro kala itu.
Perahu Besi Desa Ngraho, Kec. Gayam, Kab. Bojonegoro
(Foto : Novi BMW, 11/09/2015)
Perahu Kayu kuno di Desa Padang ini memiliki inskripsi angka tahun 1612, maka usianya jelas lebih dari kriteria minimal Cagar Budaya, yaitu 50 tahun. Dari temuan yang ada di sekitar perahu, maka perahu ini berada pada masa kurun waktu pemerintahan Kesultanan Mataram, Sultan Agung dan juga masa VOC Belanda mulai merambah perdagangan di Pulau Jawa. Temuan Perahu Kayu kuno di Desa Padang ini memberikan arti penting bagi penelitian sejarah Nasional Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Karena temuan perahu ini menjadi bukti pelayaran jalur sungai, khususnya Bengawan Solo dari hulu kehilir (maupun sebaliknya) masih dipertahankan hingga masa VOC bahkan kolonial Belanda. Jalur perdagangan dan distribusi komoditi dari pusat – pusat pemerintahan di pedalaman menuju luar pulau Jawa berperan penting dalam eksistensi peradaban masyarakat Jawa. Temuan perahu Sungai berukuran besar ada tiga buah dan semua temuan tersebut ada di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Temuan tersebut adalah Perahu Kayu di Desa Padang, Kec. Trucuk (2005), Perahu Besi di Desa Kalang, Kec. Margomulyo (2012) dan Perahu Besi di Desa Ngraho, Kec. Gayam (2013). Perahu – perahu ini menjadi bukti pentingnya Bojonegoro dalam perdagangan dan motor penggerak lumbung pangan bagi kejayaan Kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.


DAFTAR RUJUKAN

Munib, N.B. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatwang di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170 - 1215 Caka: Tinjauan Geopolitik . Malang : Univ. Negeri Malang
Noorduyn, J dan Teeuw, A. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Hawe Setiawan (penerjemah). Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
Olthof, W.L. 2013. Babad Tanah Jawi : Dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta : NARASI
Pigeaud, Th G T. 1960. Java in the fourteenth century: A study in cultural history: The Nagarakrtagama by Yakawi Prapanca of Majapahit 1365 AD. Vol I. The Hague: Martinus Nijhoff.
Suryo, D, dkk. 1995/1996. Dinamika Sosial Budaya Masyarakat di Pulau Jawa Abad VIII-XX. Yogyakarta: Kerjasama Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dengan Fakultas Sastra UGM.




[1] Kedua lokasi daerah ini tidak berada di tepian Bengawan Solo, sehingga belum begitu kuat identifikasi diantara keduanya, ataukah dahulu merupakan nama daerah yang meliputi wilayah hingga pinggir Bengawan?
[2] Bila dirunut dari posisi pelabuhan Widang, maka identifikasi pelabuhan Lowara adalah di wilayah Bojonegoro timur. Nama Lowara begitu terkenal dalam sejarah Nasional sebagai lokasi awal serangan Raja Worawari terhadap Dharmawangsa Tguh
[3] Desa Ngloram diidentifikasi merupakan salah satu wilayah Jipang, jadi keberadaan Desa Ngloram masa kerajaan belum muncul.