Rabu, 30 Juli 2014

PANGERAN PANJI PULANGJIWA DAN PANGERAN RAMA

Cungkup Makam Pangeran Pulangjiwa
(Foto : Novi BMW, 08/10/2013)
Bukit Asta, di Desa Kebonagung, Kec. Kota Sumenep, Kab. Sumenep merupakan lokasi pemakaman para pemimpin Kesultanan Sumenep, “Asta Tinggi” yang terkemuka. Kompleks makam ini merupalan salah satu tujuan peziarah dari seluruh negeri saat berkunjung ke pulau Madura.

Pada kompleks pemakaman Asta Tinggi, terdapat satu cungkup yang dikunjungi terlebih awal oleh para peziarah, dimana dalam cungkup ini dimakamkan para pemimpin terdahulu (sepoh) di Sumenep. Cungkup makam ini disebut Cungkup Makam Pangeran “Panji Pulangjiwa”. Dalam cungkup ini terdapat 22 Makam, dan 6 makam pemimpin utama.

A.     PANGERAN PANJI PULANGJIWA
Makam-makam dalam Cungkup Makam Pangeran Panji Pulang Jiwa
(Foto : Novi BMW, 08/10/2013)
Pangeran Panji Pulangjiwa merupakan salah satu pangeran yang terkenal baik di Jawa maupun Madura, bahkan namanya sudah melegenda diwilayah Jawa – Madura. Namun bagaimanakah kesejarahan beliau dipemerintahan Sumenep??
Kisah Panji Pulangjiwa kita mulai dari wafatnya Tumenggung Yudanegara (Penguasa Sumenep & Sahabat Trunojoyo) pada November 1684 M. Karena Tumenggung tidak memiliki anak laki-laki pemerintahan Katemenggungan Sumenep diperebutkan oleh empat menantunya. Mereka adalah Pangeran Panji Pulangjiwa, Pangeran Baskara, Pangeran Wirasari dan Pangeran Gatutkaca.

Pangeran Panjipulangjiwa merupakan menantu tertua yang didukung oleh Patih Brajapati, ia merupakan patih kepercayaan dari almarhum Tumenggung Yudanegara. ia menganggap dirinyalah yang berkuasa di seluruh Madura timur. Namun, ketiga Saudara iparnya pun menuntut hak sebagai penguasa di Madura Timur.

Kesultanan Mataram Amangkurat II di Kartasura, sebagai pusat pemerintahan Madura (Bangkalan), Sampang, Blega dan Sumenep (Sumenep dan Pamekasan) kala itu, meminta pihak VOC menengahi konflik tersebut. Akhirnya dari pihak VOC mengutus Jeremias van Vliet ke ujung timur Pulau Jawa (Graff, 1987).


Pada awal tahun 1685, van Vliet berhasil mengumpulkan empat Saudara ipar tersebut di Surabaya. Van Vliet menganjurkan agar mereka berempat mengakhiri perselisihan, kemudian mengusulkan agar Pangeran Pulangjiwa dan Pangeran Baskara, sebagai dua berSaudara tertua, memerintah di Sumenep. Sedangkan dua Saudara ipar yang lebih muda akan menguasai Pamekasan, di bawah pengawasan ipar tertua. Selanjutnya akan dimintakan pertimbangan Sunan (Susuhunan Amangkurat) dan Kompeni (VOC) yang akan dicapai nanti apabila komisaris Tack (Kapten Tack) mengunjungi Kartasura (inkomend Briefboek Surabaja, 1685 dalam Graff, 1987).

Terdapat berita dari Laporan Belanda tahun 1686, bahwa Bupati Sumenep tidak lagi menghiraukan kekuasaan Cakraningrat  dari Madura (Madura Barat). Serta tidak mau tunduk di bawah Susuhunan (Mataram) secara langsung. Sumenep cenderung berada di bawah perlindungan Kompeni. Dijelaskan pula dalam laporan tersebut, Aria Pulangjiwa memohon untuk dapat memerintah sepenuhnya atas daerah dan rakyatnya (Resink, 1987).

Pada 17 Juli 1685 para Bupati penguasa pesisir pantai utara jawa dan pantai selatan Madura (dari Tuban hingga Blambangan) mengadakan pertemuan di Surabaya. Pertemuan tersebut untuk merundingkan dengan pihak Belanda tentang cara memerangi Bajak Laut dan Raja Blambangan. Mengharukan saat Tumenggung Panji Pulangjiwa dari Sumenep berdatang sembah di hadapan Cakraningrat dari Madura barat (Sampang). Dilukiskan saat pertemuan tersebut Cakraningrat yang telah lanjut usia itu mencucurkan air mata. Hal ini dikarenakan antara Madura Timur (Sumenep-Pamekasan) dengan Madura Barat (Sampang-Blega-Arosbaya-Madura/Bangkalan) selalu bermusuhan. Saat itu Panji Pulangjiwa diberi wejangan agar selalu bersahabat dengan Cakraningrat, sambil membungkuk hormat Panji Pulangjiwa pun berjanji berdamai. Akhirnya salah satu penguasa Sumenep itu pun diperbolehkan duduk berdampingan dengan penguasa Sampang yang lanjut usia tersebut (Graff, 1987).

Pada pertemuan 17 Juli 1685 tersebut, diundang pula tiga penguasa Madura Timur, Saudara ipar Panji Pulangjiwa. Namun hanya Tumenggung Baskara mengutus ibu mertuanya, Nyai Kani istri almarhum Yudanegara dan anaknya yang belum akil balig, yaitu Raden Suderma. Sedangkan dua penguasa Madura Timur lainnya tidak hadir (T. Wirasari dan T. Gatutkaca). Oleh karenanya, van Vliet hanya dapat beramah tamah dengan Tumenggung Panji Pulangjiwa dan Raden Suderma. Setelah acara di Surabaya selesai, van Vliet beserta rombongan Tumenggung Panji Pulangjiwa dan Raden Suderma menuju ke Jepara menanti kedatangan Kapten Tack.  Untuk kemudian bersama-sama mengiringi Kapten Tack berkunjung ke Kartasura menghadap Susuhunan Amangkurat II, sehubungan masalah pembagian wilayah kekuasaan mereka di Madura Timur (Graff, 1987).
Penelitian bersama Komunitas Pelestari Sejarah Budaya Sumenep "Songennep Tempo Doeloe" di bukit Asta Tinggi
(Foto : Robby, 16/06/2013)
B.    PANGERAN RAMA
Babad Songennep (Wedisastra, 1921) mengungkapkan bahwa Pangeran Rama adalah putra dari R.A. Otok dengan Pangeran Gatutkaca dari Pamekasan. Mengenai pengungkapan silsilah keturunan Yudanegara pada Babad Songennep perlu diteliti lebih lanjut, karena banyak ketidak sesuaian dengan data primer yang sejaman dengan peristiwa. Dalam babad disebutkan bahwa pernikahan antara R.A. Batur dengan Pangeran Baskara tidak dikaruniai anak, namun dalam laporan van Vliet yang menjamu dan bertemu langsung dengan tokoh-tokoh tersebut menerangkan bahwa Pangeran Baskara memiliki putra laki-laki bernama Raden Suderma (Graff, 1987). Raden Suderma inilah yang sebenarnya didukung van Vliet untuk menggantikan Yudanegara.

Dalam faktanya Pangeran Rama menjadi penguasa Sumenep dan berhasil mempersatukan wilayah Madura Timur (Sumenep-Pamekasan) di bawah naungan pemerintahannya. Apakah Raden Suderma yang disebutkan van Vliet adalah sama dengan Pangeran Rama ini? Jika benar berarti ia merupakkan putra Pangeran Baskara dengan R.A. Batur.

Pangeran Rama mempersatukan pemerintaan Madura Timur, kemudian ia bergelar Cakranegara II. Pada tanggal 09 April 1705, pemerintahan seluruh Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan) resmi diserahkan kepada Cakranegara II. Ia dikukuhkan berdasarkan perintah Gubernur Jenderal dan Dewan Pertimbangan Agung (Raad van indie) Komisaris Kompeni (Resink, 1987).

Sehubungan dengan salah satu poin perjanjian tentang jatuhnya Sumenep dan Pamekasan ke tangan VOC, pada tanggal 05 Oktober 1705 terdapat perjanjian antara Susuhunan (Amangkurat II) dan Kompeni Belanda. Adapun isi dari pernyataan perjanjian tersebut ialah :

“Paduka yang Mahamulia Susuhunan dengan ini menyerahkan secara syah kepada Kompeni untuk melindungi daerah-daerah Sumenep dan Pamekasan..... secara yang sama seperti dilakukan oleh Bupati yang terdahulu waktu menyerahkan daerahnya kepada Kompeni.....” (Resink, 1987).

Pernyataan tersebut memberikan informasi bahwa Sumenep dan Pamekasan secara resmi jatuh ke bawah perlindungan dan milik Kompeni sejak pemerintahan Pangeran Rama. Pangeran Rama atau Cakranegara II berhasil melepaskan diri dari hegemoni Kesultanan Mataram di Kartasura.

Novi BMW
PB Bojonegoro, eks PB Sumenep
(PBS, Kamis 31/07/2014)

Sumber Rujukan :

Graff, H.J.1987. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti

Resink, G.J. 1987. Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia, 1850-1910. Jakarta : Djambatan

Werdisastra, R. 1921. Babad Songennep. Jakarta : Balai Pustaka

Rabu, 23 Juli 2014

ASOSIASI MUSEUM INDONESIA DAERAH JAWA TIMUR TELAH LAHIR

Peserta Rapat Pembentukan Pengurus AMIDA Jawa Timur di Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo
Museum Negeri Provinsi Jawa Timur Mpu Tantular Sidoarjo, menjadi saksi bisu lahirnya Asosiasi Museum Indonesia Daerah Jawa Timur (AMIDA Jawa Timur). Bertepatan dengan hari Senin 16 Juni 2014, Musyawarah yang dihadiri beberapa perwakilan Museum Daerah maupun swasta, berhasil mengukuhkan dan menetapkan Pengurus AMIDA Jawa Timur.

Acara yang dihelat setelah acara pembukaan Pameran Nasional Pesona Ragam Hias Kain Tradisional Nusantara 2014 di Museum Negeri Provinsi Jawa Timur “Mpu Tantular” ini dihadiri pula Ketua AMI Nasional, yaitu Bapak Putu Supadma Rudana. Beliau mengapresiasi terbentuknya AMIDA Jawa Timur, yang diharapkan dapat menjadi penggerak pengembangan museum. Sekaligus sebagai forum kebersamaan, menjalin komunikasi dan diskusi bagi segenap keluarga besar permuseuman di Jawa Timur.
Sambutan Ketua AMI Nasional Bapak Putu Supadma Rudana

Peserta musyawarah pembentukan pengurus AMIDA Jawa Timur ini menetapkan saudara Dwi Cahyono (Kepala Museum Malang Tempo Doeloe) sebagai ketua dan Saudara Edi Irianto (Kepala Museum Mpu Tantular) sebagai Wakil Ketua AMIDA Jawa Timur. Agenda selanjutnya akan diadakan pertemuan di Malang untuk membahas program kerja AMIDA Jawa Timur.
Sambutan Ketua dan Wakil Ketua terpilih AMIDA Jawa Timur


Bertepatan dengan bulan Ramadhan, pada hari Rabu, 16 Juli 2014 berlokasi di Museum Resto “Inggil” (Malang Tempo Doeloe), telah diadakan acara rapat Program Kerja dan Buka Bersama AMIDA Jawa Timur. Adapun program kerja yang akan dilaksanakan terlebih dahulu adalah pendaftaran museum – museum daerah maupun swasta untuk turut menjadi anggota Asosiasi.
Buka Bersama di Museum Resto "Inggil" (Malang Tempo Doeloe)

Pengurus AMIDA Jawa Timur juga akan mengadakan Audiensi dengan pemimpin – pemimpin daerah (Bupati/walikota) ke beberapa daerah di Jawa Timur. Adapun diputuskan lima (5) daerah yang akan didahulukan, karena mengalami kendala permuseuman yang memerlukan dukungan diplomasi lebih untuk menyelesaikannya. Lima daerah tersebut adalah :

  1. Kabupaten Jember
  2. Kabupaten Sampang
  3. Kabupaten Pacitan
  4. Kabupaten Lumajang
  5. Kabupaten Bojonegoro
Dalam kesempatan tersebut, Bapak M. Agus Sunarno dan Penulis sebagai perwakilan Museum Rajekwesi (Museum Daerah Kab. Bojonegoro), mendapatkan amanah bertugas sebagai Bidang Penelitian dan Pengembangan bersama Ibu Aris Purwantini dari Museum Lamajang (Museum Daerah Kab. Lumajang).



Selain Museum Daerah, kini di Jawa Timur banyak berdiri / dirintis Museum Komunitas (Museum 13 Bojonegoro, Museum Bumi Kadhiri), Museum Kampus (Laboratorium Sejarah UM, UNESA), Museum Desa (Museum Ngrawan Dolopo-Madiun, Museum Pelawangan Sidoarjo) dan Museum swasta wisata yang berkembang maju seperti Museum Satwa dan Museum Angkut Jatim Park Kota Batu. Diharapkan dengan adanya AMIDA Jawa Timur dapat menjadi wadah perjuangan bersama dalam pengembangan permuseuman. Sehingga tidaklah akan ada lagi ungkapan bahwa museum itu dicitrakan angker, atau tempat belajar permuesuman (mesum), karena sepinya sehingga hanya dijadikan lokasi bermadu kasih muda-mudi akhir zaman.

Novi BMW
PB Bojonegoro
(PBB07 - Kamis, 24/07/2014)

Rabu, 16 Juli 2014

KIRAB PUSAKA ANDONGSARI

Pak Suwono di makam Mbah Andong
(Foto : Novi BMW, 03/04/2014)
MAKAM MBAH ANDONGSARI
Makam Mbah Andong-sari terletak di Kelurahan Ledok Kulon, Kec. Kota Bojonegoro. Penelusuran tentang Kirab Pusaka Mbah Andongsari tidak lepas dari sosok Pak Suwono (71), pria tamatan SR (SD) ini merupakan Juru Kunci Senior area makam Mbah Andongsari. Siapapun pengunjung Makam Mbah Andongsari akan di sambut ramah dan mengantarkan terlebih dahulu untuk berdoa dimakam. Pria yang diangkat sebagai pejabat Modin di Kelurahan Ledok Kulon ini pun bercerita sering menerima tamu dari para Pejabat, baik siang maupun malam untuk berbagai keperluan ke Makam Mbah Andongsari.
 
Titik Merah lokasi Makam Mbah Andong - Sari
Peta : https://www.google.com/maps
Kreasi : Novi BMW
LEGENDA MBAH ANDONG DAN MBAH SARI
Dahulu pada waktu Tumenggung Metahun menjadi bupati di Ngrawan (sekarang menjadi dukuh dalam Desa Ngraseh, Kec. Dander), ia balelo (tidak mau di atur) tidak mau menghadap ke Mataram.

Sultan Mataram kemudian menyampaikan surat kepada Panembahan Madura, agar tumenggung Metahun menghadap ke Madura. Sesampainya Tumenggung Metahun di Madura, ia menghadap Panembahan Madura, namun terjadi perselisihan hingga panembahan meninggal dunia.

Tumenggung Metahun melarikan diri dari Madura dengan menyamar, berpakaian layaknya peminta-minta, kemudian membawa tongkat dan terbang (alat musik) mengamen Kentrung. Prajurit Madura pun terus memburu Tumengung Metahun hingga ke Ngrawan.
Tambangan di dekat Makam Mbah Andong-sari
(Foto : Novi BMW, 12/05/2014)

Tumenggung Metahun yang mengembara sebagai pengamen Kentrung akhirnya sampai di Desa Ledok Kulon (sekarang di Kota Bojonegoro). ia menikah dengan seorang wanita bernama Sari. Selama di Ledok Kulon, Pangeran Dalem (Tumenggung Metahun) bekerja sebagai pemain Kentrung dan menjadi tukang tambang (pengemudi rakit/perahu penyebrangan di Sungai) di Bengawan Solo. Setiap ada masyarakat yang menyebrang, mereka tidak di pungut biaya sepeserpun. Jadilah masyarakat semakin senang terhadap kehadirannya. Selama di Ledok Kulon, Tumenggung Metahun menggunakan nama Mbah Andong.

Berdasarkan penuturan Pak Suwono, diceritakan bahwa pernikahan antara Mbah Andong dan Mbah Sari tidak dikaruniai keturunan. Suatu hari Mbah Sari memiliki permintaan kepada Mbah Andong, yaitu Jarik Parang Rusak (batik) dan Stagen biru. Padahal kedua jenis pakaian itu adalah pantangan bagi Mbah Andong. Karena Mbah Sari terus merajuk akhirnya permintaanya itu pun dipenuhi, namun Mbah Andong terlanjur mengucap janji, jika ia telah meninggal dunia, maka makamnya tidak bisa bercampur satu tempat dengn sang Istri. Oleh karenanya makam Mbah Andong dan Mbah Sari dahulu tidak di area yang sama. Dahulu Makam Mbah Andong berada di daerah Ledok Kulon sebelah selatan, namun kini telah menjadi Bengawan karena terjadi erosi selama puluhan tahun. Hingga kemudian pada masa Pemerintahan Orde Baru makamMbah andong dipindahkan kelokasi sekarang, berada di area makam umum Desa Ledok Kulon, berdekatan dengan cungkup makam Mbah Sari.

KIRAB PUSAKA
Setiap tahun pada bulan Suro, tepatnya hari Selasa Kliwon, selalu diadakan acara Khoul, dahulu istilahnya Manganan namun sekitar tahun 1988/1989 diganti dengan acara Khoul. Hal ini merupakan salah satu upaya menambah citra islami yang kental. Prosesi acara tersebut adalah pada hari Senin pagi diadakan Tahtimul Qur’an (Khataman Al Qur’an) di area Makam Mbah Andong. Kemudian dilanjutkan pada Senin, malam Selasa Kliwon diadakan pengajian umum. Selasa pagi diadakan acara Kirab Pusaka Mbah Andongsari, dimulai sekitar Pkl. 07.00 WIB hingga Pkl. 11.00 WIB. Selepas Kirab diadakan manganan umum (kenduren/bancakan/makan bersama).

Pintu Makam Mbah Andong yang berukuran kecil
(Foto : Novi BMW, 12/05/2014)
Mbah Andong memiliki pusaka Gagak Cemani, Godong Andong, Tongkat Galih Kelor, Tongkat Menjalin Bang, Tongkat Menjalin Porong, Slempang Bupati, Pedang Cakra Budaya, Kentrung, Kutang Singo Barong, dan Kutang Onto Kusumo. Godong Andong dipercaya berkhasiat untuk keselamatan, Gagak Cemani dibawa saat perang, Tongkat Galih Kelor dibawa ke hutan untuk keselamatan. Pada bulan Suro pusaka – pusaka tersebut dilakukan Jamasan, semenjak tanggal 1 hingga 5 Bulan Suro Pusaka di turunkan untuk penjamasan Pusaka.

Urutan Kirab dari makam menurunkan pusaka terdapat upacara yang dihadiri Lurah Ledok Kulon dan kemudian diberangkatkan dengan dipimpin Juru Kunci mengelilingi Kelurahan Ledok Kulon. Sesajinya dalam ritual ini adalah sego buceng, panggang ayam, jenang abang putih, sekar (bunga), ugorampen jajan pasar dari masyarakat. Sego Buceng sebagai lambang hormat kepada leluhur, jenang abang menghormati kepada leluhur baba lan ibu yang telah wafat. Sekar (bunga) yang diambil warga dipercaya sebagai penolak bala.

Dittulis Oleh : Novi BMW
PBB06, Kamis 17/07/2014

Kamis, 10 Juli 2014

LEDRE BOJONEGORO

Ledre
Beberapa Minggu lagi Hari Raya Idhul Fitri, pasti banyak yang mempersiapkan kue atau jajanan untuk tamu yang bersilaturahmi. Banyak makanan khas daerah yang turut disajikan dalam peringatan Hari Raya Idhul Fitri tersebut. Salah satu referensi makanan khas yang nikmat untuk menjadi cemilan hari raya adalah Ledre.

Ledre adalah cemilan khas dari Kabupaten Bojonegoro. Cemilan ini manis, dan tekturnya lembut renyah seperti kerupuk. Namun bagaimanakah sejarah Ledre ini hingga menjadi oleh – oleh khas Kabupaten Bojonegoro?

Perintis Usaha Ledre.
Endang Sulastri adalah generasi ke – 4 pembuat Ledre pertama di wilayah Bojonegoro, tepatnya di Desa Padangan, Kec. Padangan. Mak Sinem adalah nenek Bu Endang, sekaligus putra orang pertama yang membuat Ledre di Padangan. Sayang nama Ibu Mak Sinem yang mengembangkan Ledre pertama tersebut belum diketahui, sebab terpisah dengan keluarga dalam perang kemerdekaan.  

Hingga sekitar tahun 1998 – 1999, produsen Ledre di wilayah Padangan hanyalah keluarga beliau, yaitu keluarga Alim Yuwono yang hingga kini tinggal di Jl. Kartini No 20, Desa Padangan, Kec. Padangan, Kab. Bojonegoro. Setelah masa reformasi, perkembangan Ledre semakin pesat dengan dukungan pemerintah daerah yang mengadakan pelatihan pembuatan Ledre. Banyak digalakkan pelatihan membuat Ledre lewat ibu – ibu PKK dan berbagai bantuan pengembangan usaha Ledre di Kabupaten Bojonegoro.

Alamat Keluarga Alim Yuwono
Dari Kampung Pecinan di Desa Padangan, Kec. Padangan, kemudian menyebar ke berbagai pelosok wilayah Bojonegoro. Beberapa pekerja yang pernah ikut membantu prduksi Ledre Ibu Endang pun kemudian membuat Ledre dirumah masing – masing, kemudian hasil produksi dikumpulkan kerumah Ibu Endang. Begitu pula setelah banyak produsen Ledre, banyak pekerja yang membuat Ledre di rumah masing – masing, lalu hasilnya dikumpulkan ke toko – toko besar di wilayah Bojonegoro.

Ibu Endang Sulastri
Nama “Ledre”
Sebelum bernama Ledre, cemilan ini disebut "Semprong". Namun pada masa nenek Bu Endang, istilah Ledre semakin populer untuk menyebut cemilan ini. Menurut Pemerhati Budaya Bojonegoro, yaitu Jfx. Hoery, istilah “Ledre” berasal dari proses pembuatannya yang di edre – edre diatas wajan khusus. Awalnya Ledre adalah makanan yang dibuat warga Tionghoa di Kecamatan Padangan. Saat itu masih masa peperangan sebelum kemerdekaan Indonesia. Ledre dimanfaatkan masyarakat Tionghoa untuk mengisi perut saat bahan makan sulit didapat.

Cara Membuat Ledre
Bahan Pokok Ledre dahulu adalah tepung gaplek, namun dikemudian hari dengan  mudahnya tepung beras didapat produksipun menggunakan tepung beras hingga sekarang. Adapun resep Ledre adalah seagai berikut :
a)         Tepung Beras
b)         Pati (Tepung Tapioka)
c)         Gula
d)         Santan
e)         Suwiran pisang raja

Produksi Ledre memerlukan wajan sebagai pemanas adona ledre. Wajan yang dipergunakan adalah wajan khusus (baja), dengan bahan bakar berupa arang. Langkah pertama dalam produksi Ledre setelah bahan dan peralatan siap adalah membuat adonan. Adonan ini terbentuk dengan cara mencampurkan Tepung beras, Tepung Tapioka, gula dan santan diaduk hingga tercampur rata. Kemudian adonan dituangkan ke atas wajan yang panas, selanjutkan diratakan dengan kuas (di edre - edre), lalu di berikan potongan pisang raja, setelah kering di angkat langsung digulung silindris. Bahan pisang harus diiris-iris tipis, karena selain untuk penguat rasa khas pisang, juga bermanfaat sebagai pelemas Ledre.

Perkembangan Usaha Ledre
Kini variasi rasa Ledre semakin berkembang, yang awalnya hanya rasa pisang maka kini pun bertambah ada rasa coklat, durian, dan rasa buah – buahan lain. Namun keberadaan pisang tetap digunakan karena pisang selain sebagai bahan rasa / aroma juga berfungsi sebagai pelemas adonan ledre saat dipanggang.

Berbeda dengan pengusaha Ledre yang baru dengan kemasan yang mencolok dan menarik. Untuk tampil beda, maka Bu Endang setia menggunakan kemasan lama, berupa kardus putih polosan. Selain itu pembuatan Ledre tetap memakai bahan baku alami, dengan buah-buahan alami, tidak memakai bahan perasa buah yang kini banyak beredar diprodusen ledre baru.

Menurut pengalaman Bu Endang, dahulu kemasan pernah untuk dicoba berganti lebih modern dan menarik, namun konsumen malah meminta untuk tetap menggunakan ciri khas lama dengan kemasan polos. Hal ini cukup menarik, karena menjadi ciri khas yang menunjukkan sejarah awal pembuat Ledre di Bojonegoro.

Kardus Ledre
Foto : http://jalan2bojonegoro.wordpress.com/2009/03/05/22/

Produksi Ledre Bu Endang bekerjasama dengan warga sekitar Padangan. Produksi Ledre beliau terdiri dari tiga ukuran kardus, kecil, tanggung, besar. Untuk kardus ukuran kecil seharga Rp.17.500,- dengan isi 40 biji. Untuk kardus tanggung harga Rp. 34.000,- dengan isi 80 biji, dan untuk kardus besar seharga Rp. 59.000,- berisi 140 biji Ledre. Sedangkan daya tahan Ledre ditempat suhu kering mampu bertahan selama 1 bulan tanpa bahan pengawet.

Novi BMW
PBB05, Kamis 10/07/2014

Rabu, 02 Juli 2014

KERAJINAN WAYANG THENGUL DAN KRUCIL MBAH SANTOSO

Mbah Santoso dengan Karya Wayang Krucil nya
(Foto : Novi BMW, 15/06/2014)
Wayang Thengul adalah wayang kayu berbentuk tiga dimensi dengan busana rapi sejenis dengan Wayang Golek Jawa Barat. Perbedaan Wayang Thengul dengan Wayang Golek Jawa Barat adalah atribut, nama tokoh dan cerita yang dilokonkan. Dimana Wayang Thengul mengambil latar kisah dan penokohan terlepas dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Cerita - cerita yang di ambil sebagian besar merupakan cerita rakyat lokal Jawa Timur – Jawa Tengah, seperti Cerita Panji, Cerita Damarwulan, Cerita Menak, Cerita Para Wali, Kesultanan Demak – Pajang dan Cerita Anglingdharma.

Kini Wayang Thengul telah menjadi ikon budaya Kabupaten Bojonegoro. Hal ini tidaklah berlebihan, karena jumlah dalang Wayang Thengul di Kabupaten Bojonegoro lebih banyak dari pada daerah lainnya. Selian itu antusias masyarakat untuk pementesan wayang ini sangat besar, dibandingkan jenis wayang lainnya.

Menurut Mbah Santoso (71) yang pertama mempopulerkan Wayang Thengul pada masa Kolonial Belanda dahulu adalah Mbah Samijan (alm). Selian dalang wayang Thengul, Mbah Samijan juga membuat wayang sendiri. Kemudian Mbah Santoso pun menceritakan asal nama “Thengul” yang beliau peroleh dari Mbah Samijan langsung. Yaitu Thengul berasal dari dua kata, yaitu “Theng” yang bermakna angan – angan, keinginan atau niat, dan “Ngul” singkatan kata dari Ngulandoro (mengembangkan/menyebarkan dengan mengembara). Jadi pengartian Thengul adalah niat mengembara menyebarkan ajaran dalam wayang dengan cara ngamen ke desa – desa.

Sekitar tahun 1959, Wayang Thengul sangatlah digemari masyarakat wilayah Padangan dari pada Wayang Kulit. Mbah Santoso pun tertarik untuk mempelajari wayang Thengul. Beliau belajar langsung Wayang Thengul kepada Bapak Samijan, selain itu ia juga mencoba membuat wayang sendiri dan terus mengikuti Bapak Samijan tampil dimana-mana.
Wayang Thengul Karya Mbah Santoso
(Foto : Aris Sudarsono, 18/04/2014)
Sepeninggal Mbah Samijan, Mbah Santoso akhirnya mengikuti jejak gurunya tersebut, beliau ngamen Wayang Thengul ke desa –desa dengan diiringi sekitar 8 orang pengiring/pengrawit. Jika tanggapan pengrawit lengkap sekitar 20 orang. Tanggapan sering di tampilkan saat ada orang hajatan, acara manganan dan juga Ruwatan. Cerita pagelaran Wayang sama halnya cerita ketoprak seperti cerita-cerita Panji, Damarwulan, Minak dan Anglingdharmo dengan diiringi gamelan pelog slendro.

Kini Mbah Santoso masih sering mengadakan pertunjukan wayang, baik Wayang Krucil mapun Wayang Thengul, walaupun undangan pentas semakin sedikit dibandingkan dimasa dahulu. Selian itu kerajinan ukir wayang Krucil, wayang Thengul dan aneka ukiran kayu menjadi mata pencaharian beliau. Di usianya yang sudah 70 tahun, beliau kini tidaklah sendiri dalam usaha melestarikan kerajinan ukir kayu dan pembuatan wayang Krucil – Thengul. Beliau dibantu oleh Aris Sudarsono (30), salah satu dari putra beliau yang kini hidup menemani sang ayah.
Grobak Wayang Karya Mbah Santoso
(Foto : Novi BMW, 15/06/2014)
Bahan baku kayu yang dari hari kehari semakin mahal, alat yang sederhana, serta modal yang tidak cukup untuk membayar pekerja, membuat Mbah Santoso kuwalahan dan terpaksa tidak mampu mengembangkan usaha kerajinan nya. Beliau berharap adanya dukungan modal atau bimbingan dari pihak pemerintah.

Wawancara Bersama Mbah Santoso
(Foto : Nunung, 15/06/2014)
Mbah Santoso menceritakan, bahwa pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pernah mendapat bimbingan dari Perhutani, dan usahanya maju hingga mendapat penghargaan dari presiden kala itu. Namun semenjak Revormasi bergulir, usaha kerajinannya pun jatuh, hingga pekerja yang dahulu didiknya berkerajinan banyak yang harus merantau ke luar daerah. Dari masa Revormasi hingga kini pun belum ada bantuan modal maupun bimbingan secara intensif dari pemerintah daerah maupun pusat. Padahal Mbah Santoso merupakan maestro Wayang Thengul satu – satunya di Bojonegoro, yang hingga kini masih berkarya membuat wayang Ikon budaya Kabupaten Bojonegoro tersebut.
Sebagian Karya Mbah Santoso yang hijrah ke Sumenep
(Foto ; Novi BMW, 15/06/2014)
Dewo Ringgih, salah satu pemilik Cafe ternama di Kabupaten Sumenep pun tertarik dengan Wayang Krucil dan Wayang Thengul Mbah Santoso. Ia memesan Wayang Krucil Mbah Santoso untuk menghiasi ruang Cafe yang baru dibuka tidak jauh dari Terminal Bus Arya Wiraraja Kabupaten Sumenep.

Ditulis oleh : Novi BMW
PBB04, Kamis, 03/07/2014