Kamis, 30 Oktober 2014

SITUS PAYAMAN BOJONEGORO

Kisah Kasih di Dukuh Tinggang, di daerah ini mengandung cerita rakyat yang berhubungan dengan asal muasal bumi Balung Boto. Beginilah cuplikan kisah kasih tersebut :

"Pada suatu ketika ada buto (raksasa) yang lapar dengan lari datang dari daerah selatan, kemudain ia datang di dukuh Mituwon, berhentilah ia dirumah seorang janda. Didukuhan tersebut ia meminta agar dibuatkan makanan lezat oleh Si Janda. Karena takutnya Si Janda, maka iapun tergesa – gesa menanak nasi dan membuat lauk pauk berupa masakan ontong (jantung pisang). Ia tak sengaja melukai jarinya saat mengiris – iris jantung pisang. Darah pun bercucuran bercampur dengan irisan jantung pisang. Sajian spesial untuk sang raksasapun selesai, disantaplah dengan nikmat masakan dari Si Janda. Nikmat tak terkira hingga segarlah badannya. Namun kurang puas ia, bernafsulah raksasa ingin memakan dan menikmati segarnya darah Si Janda. larilah si Janda malang tersebut untuk mencari perlindungan. Akhirnya ia mendapatkan pertolongan dari Ki Ageng Prangi. Berperanglah Ki Ageng melawan raksasa, hingga tempat pertempuran tersebut kemudian dikenal dengan nama Desa Prangi. Pertempurann antara dua makhluk sakti tersebut berlangsung lama, kemudian Ki Ageng Prangi mengeluarkan busurnya dan memanah raksas tepat di dadanya. Raksasapun terdesak dan lari hingga mati dengan posisi mbreganggang. Tempat kematian raksas tersebut kini dikenal dengan nama Tinggang (maTi mbregaNggang). Bahkan hingga kini tulang – tulang raksasa yang disebut dengan istilah “balung buto” itu sering ditemukan oleh masyarakat. Itulah asal usul nama Desa Tinggang dan awal terciptanya Balung Buto (fosil)." 
Penambangan Balung Buto

Cerita tersebut cukup unik, dalam benak masyarakat fragmen tulang – tulang berukuran besar yang telah membatu dahulu disebut dengan istilah balung buto (tulang raksasa). Namun sperti yang kita ketahui, tulang – tulang yang telah membatu tersebut adalah fosil dari makhluk hidup yang telah tertimbun tanah ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu.

Dukuh Tinggang, Desa Payaman terkenal sejak lama sebagai salah satu pusat temuan Fosil. Namun sayang lokasi ini masih minim dari penelitian para arkeolog maupun geolog. Berbagai temuan fosil pun banyak yang diperjual belikan kepasar gelap. Menurut informasi dari pemerhati Cagar Budaya senior, Hary Nugroho, di daerah Kecamatan Ngraho - Padangan (Prangi, Payaman, sekitar) telah dikuasai sindikat jual beli fosil, terutama jaringan Sangiran.  Baik dari pihak masyarakat hingga pejabat desa telah lama tahu transaksi terlarang tersebut, namun hingga kini belum mampu dipotong, bahkan terdapat indikasi kuat terdapat oknum perangkat yang terlibat langsung dalam jaringan tersebut.

Kondisi lingkungan daerah Ngraho (Payaman) pun turut andil maraknya jual beli fosil dikalangan masyarakat desa. Tanah yang tidak subur, kurangnya potensi ekonomi disekitar desa membuat warga mudah dan menikmati iming – iming uang dari para pemburu fosil dan terlibat langsung dalam jaringan sindikat jual beli fosil tersebut.

Saat tim kami menelusuri informasi temuan fosil gading pada Kamis (30/10/2014), kami tiba dirumah yang dituju. Sayang penemu berinisial Sy tidak berada di rumah. Bahkan saat tim mewawancarai orang tuanya, mereka mengungkapkan bahwa temuan balung buto (fosil) itu hanya isu, dan desas desus yang tidak benar dari jaman dahulu. Melihat kondisi keluarga Sy yang menutup informasi maka tim memutuskan untuk survei langsung ke lokasi penambangan tanah (+fosil).

Sesampainya dilokasi salah SATU penambangan tanah, tim terkejut melihat luas nya area penambangan yang berpatasan (tidak jelas) dengan tanah Perhutani. Tim kemudian menuju ke gubuk tempat para pekerja beristirahat, dan disana ternyata baru ditemukan beberapa fragmen fosil. Fragmen fosil tulang pinggul Gajah Purba, Kepala Gajah Purba, fragmen tulang rusuk dan beberapa tulang yang belum teridentifikasi terkumpul di bawah gubuk.
Di anatara Temuan Balung Buto

Dari cerita para pekerja mereka telah lama bekerja dengan sdr, Sy dan jika menemukan fosil segera di kumpulkan kepadanya. Para pekerja ini sering memepertaruhkan nyawanya dalam pekerjaan penambangan tanah. Melihat lokasi penambangan, bahkan bukit tupun telah lama digerus dengan cara maual. Tebing area penambangan bahkan memiliki kemiringan 80 drajad. Bahkan dahulu ada teman kerja yang terjatuh saat merayap ke atas tebing untung mencungkil tanah.

Novi BMW

PBB15, Kamis, 30/10/2014

Rabu, 22 Oktober 2014

PRASASTI SEKAR

Di Atas reruntuhan ibukota Majapahit
Seminar Sejarah Bojonegoro pada Rabu, 22 Oktober 2014 di Ruang Anglingdharma Pemkab. Bojonegoro membuat saya terangsang untuk meneruskan tulisan yang tertunda. Namun, tidaklah selengkap yang diharapkan. Selebihnya akan ditulis dalam media yang berbeda dikemudian harinya J.

Marthin Muntadhim,  salah satu pemateri dalam acara Seminar tersebut di atas menyinggung tentang Prasasti Sekar. Namun sayang dalam acara tersebut beliau belum membahas mendalam tentang prasasti tersebut. Inilah salah satu prasasti yang ditemukan di wilayah Kabupaten Bojonegoro.

Prasasti Sekar adalah salah satu jenis tamra prasasti (prasasti lempeng tembaga). Hingga sekarang yang ditemukan baru sebuah lempeng saja, yaitu lempeng ke 3 dari sekumpulan lempengan piagam.
 
Pemateri Seminar Searah Bojonegoro
Prasasti Sekar pertama dilaporkan oleh Brandes pada tahun 1903, ia memperolehnya dari Malang. Namun temuannya berasal dari daerah Sekar, Kabupaten Bojonegoro bagian selatan.  Adapun isi dari Prasasti Sekar tersebut ialah pejabat – pejabat pemerintahan dari masa Kerajaan Majapahit. Adapun susunan yang terdapat dalam prasasti ini adalah sebagai berikut :

1. Rakryan Rangga dijabat oleh Pu Dami
Nama Pu Dami selain dalam prasati ini juga kita dapati dalam sumber primer Kakawin Nagarakrtagama Wirama 72 bait 5. Disebutkan bahwa setelah Mahaptih Gajahmada wafat, maka salah satu pejabat terkemuka yang mendamping Maharaja ialah yuwa mantri[1] Pu Dami. Dengan adanya nama Pu Dami dalam prasasti yang tidak tertera angka tahunnya ini, dapat diketahui masa pembuatannya, yaitu masa kekuasaan Sri Maharaja Hayam Wuruk, pasca wafatnya Mahapatih Gajah Mada tahun 1286 Saka.

2. Rakryan Tumenggung dijabat oleh Pu Nala
Tokoh Pu Nala cukup terkenal, selain dari Prasasti Sekar kita juga dapat menemukan nama tokoh ini dalam beberapa data primer seperti Prasasti Manah i Manuk (Bendosari), Prasasti Batur, Prasasti Tribhuwana, dan Kakawin Nagarakrtagama. Dari semua data tersebut jabatannya adalah sama, yaitu sebagai Tumenggung (panglima perang).

 Pu Nala dalam prasasti Sekar dan Kakawin Nagarakrtagama memiliki gelar kepahlawanan “wiramandalika”. Hal ini disebabkan atas jasa – jasanya dalam peperangan yang membuat jaya Majapahit, dalam wirama 72 bait 2-3 Nagarakrtagama disebut bahwa  ia adalah keturunan orang cerdik, selalu memimpin pasukan disetiap peperangan, menghancurkan pasukan musuh di Dompo (di Provinsi NTB).

3. Sang Arya Dewaraja Pu Sridara

4. Sang Pamgat i Tirwan dijabat oleh Dang Acarya Indradhipa dengan gelar Sang Arya Wangsadiraja
Dalam prasasti Nglawangan disebut pejabat Pamgat Tirwan bernama “Wangsaraja”. Tokoh ini juga terdapat dalam Prasasti Manah i Manuk (Bendosari) disebut sama dengan Prasasti Sekar.

5. Sang Pamgat i Kandamuhi dijabat oleh Dang Acarya Jayanatha dengan gelar Sang Arya Nayadhikara

6. Sang Pamgat i manghuri dijabat oleh Dang Acarya Siweswara dengan gelar Sang Arya Nyayapati

7. Sang Pamgat i Jambi dijabat oleh Dang Acarya Arkanata dengan gelar Sang Arya Sahadipati

8. Sang Pamgat i Pamwatan dijabat oleh Dang Acarya Siwadipa bergelar Sang arya Warnadikara
Dalam prasasti Canggu ia menjabat sebagai Samgat i Jambi

9. Sang Pamgat i Kandangan atuha dijabat oleh Dang Acarya Samantajnana bergelar Sang Arya Samadiraja

10. Dharmadyaksa ring Kasaiwan dijabat oleh Dang Acarya Siwamurti bergelar Sang Arya Rajaparakrama
Tokoh ini disebut pula dalam Manah i Manuk (Bendosari) dan Prasasti Canggu (1280 Saka), namun namanya adalah Dang Acarya Darmaraja.

11. Dharmadyaksa ring Kasogatan dijabat oleh Dang Acarya nadendra bergelar Sang Aryadiraja.
Tokoh ini disebut pula dalam prasasti Canggu (1280 Saka). Tokoh inilah yang diidentifikasi sebagai penulis karya sastra agung Desawarnana, atau yang sering kita sebut sebagai Nagarakrtagama. Ya...tokoh inilah yang terkenal dengan nama samaran “Pu Prapanca” (Prasasti, 2012).

Dari susunan pejabat – pejabat yang ada dalam lempeng ke 3 di atas terlihat kemiripan dan kesamaan susunannya dalam prasasti Manah i Manuk (Bendosari) dan Prasasti Canggu maka prasasti ini merupakan salah satu peninggalan masa kekuasaan Sri Maharaja Hayam Wuruk pasca wafatnya Mahapatih Gajah Mada (1287-1311 Saka).

Daftar Rujukan :

Riana, I. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas Media Nusantara

Yamin, H.M. 1962. Tatanegara Majapahit: Sapta Parwa, II. Djakarta: Prapantja

http://prasastishinta.blogspot.com/2012/02/sebuah-tulisan-tentangmu-nadendra.html



Novi BMW
(PBB14, Kamis, 23/10/2014)

[1] Yuwamantri diartikan sebagai mantri / pejabat muda (Riana, 2009)

Kamis, 09 Oktober 2014

MASJID CANGAAN BOJONEGORO

Masjid Cangaan
Masjid Jami’ Nurul Huda Desa Cangaan adalah salah satu bangunan Cagar Budaya yang ada di Kab. Bojonegoro. Dalam register BPCB Jawa Timur situs ini bernomor 5/BJG/2000 dengan koordinat UTM 49M 609071E 9210610N.

Kekunoan yang tertinggal adalah lantai dan Kusen Pintu, selebihnya hasil renovasi beberapa tahap pengembangan Masjid Jami’ Nurul Huda. Lantai tegel dan ukiran pada tinggalan kuno masih menunjukkan masa gaya abad ke 18-19 M.

Masjid Desa Cangaan ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah di kawasan Desa Kuno Cangaan. Dapat dikatakan desa kuno karena selain Masjid ini masih ditemukan pula bangunan bersejarah seperti bekas Gudang-gudang tembakau dan pondok pesantren kuno, makam kuno, dan juga pelabuhan kuno di Desa Cangaan. Perkembangan Desa Cangaan tidak lepas dari pasang surutnya Pelabuhan Kuno yang menjadi pusat perdagangan dan transaksi ekonomi di Desa Cangaan dan daerah sekitar Kanor masa kolonial, dan mungkin sebelum era kolonialisme Belanda datang. Masjid ini memiliki nilai penting dalam perkembangan pelabuhan, ekonomi dan persebaran agama islam di wilayah Kabupaten Bojonegoro.
 
Pintu utama Masjid Nurul Huda
Masjid Jami’ Nurul Huda di Desa Cangaan, Kec. Kanor, Kab. Bojonegoro adalah salah satu peninggalan yang merekam jejak perkembangan Islam di wilayah Bojonegoro timur tersebut. Pada kusen pintu ruang utama masjid tertulis bacaan angka tahun “Assahri Muharom 1262” artinya “pada bulan Mzuharom 1262 (Hijriyah)”. 1262 Hijriyah jika dikonversi ke tahun Masehi maka jatuh sekitar tahun 1847.

Dilihat dari lokasinya, Cangaan adalah salah satu Desa yang terletak di pinggir Bengawan Solo. Bangunan – bangunan bekas rumah kuno dan gudang tembakau dari masa kolonial pun masih terlihat. Kini gudang tembakau tersebut menjadi sarang walet masyarakat. Dahulu terdapat dermaga penyebrangan di desa Cangaan, namun kini dermaga tersebut telah tiada.

Novi BMW
PBB13, Kamis, 09/10/2014

Kamis, 02 Oktober 2014

DARI KUBURAN KE DALAM GOA – GOA

Punden Gedong, Makam Tumenggung Surowiloyo
Komunitas Banyu Nggawan Bojonegoro merupakan komunitas pelestari Sejarah – Budaya di Kabupaten Bojonegoro. Pendataan potensi Cagar Budaya yang dilakukan Penyuluh Budaya Bojonegoro sangat terbantu dengan aktifnya komunitas tersebut. Seperti halnya saat pendataan potensi Cagar Budaya di daerah Kecamatan Dander.

Sesampainya di lahan yang disebut masyarakat dengan nama tanah Kebonpeteng, tim menelusuri sekitar kompleks makam kuno yang terbentuk dari tumpukan batu bata kuno berukuran besar. Salah satu makam disebutkan sebagai makam Mbah Surowiloyo. Lokasi ini berada di Desa Ngraseh, Kec. Dander.

Setiap tahun pada pasca panen & pasca musim hujan pada hari Jum’at Pahing dilakukan manganan desa di area punden Mbah Surowiloyo. Punden ini disebut pula punden Gedong, disini terdapat sekitar 13 tumpukan struktur batu bata yang dibentuk makam. Punden ini terbagi menjadi dua klaster, yaitu 11 makam berada di satu kotak klaster di sebelah utara jalan dan 2 makam berada klaster selatan jalan.

Salah satu makam di klaster sebelah utara adalah makam dari Mbah Surowiloyo. Siapakah beliau ini? Dalam buku Bunga Rampai Sejarah Bojonegoro kita dapatkan nama Tumenggung Surowiloyo, yang dahulu adalah salah satu Bupati di Mojoranu.

Nama area tanah punden yang disebut “kebonpeteng” mengingatkan kita pada lokasi pemakaman Adipati Matahun II dalam Bunga Rampai Sejarah Bojonegoro. dalam buku itu disebutkan nama arae makam “karangpeteng”. Istilah “karang” atau “pekarangan” sama dengan lahan perkebunan atau “kebon”. Apakah ini berarti makam Adipati Matahun II juga di area punden Gedong di dekat makam Mbah Surowiloyo?

Selepas pendataan di Makam Tumenggung Surowiloyo, kemudian dilanjutkan menuju Punden Mbah Singoyudo. Lokasinya berada di tengah makam Desa Sumberarum, Kec. Dander.
 
Prasasti di area Punden Singoyudo
Situs ini cukup istimewa, dimana batu nisan yang digunakan ternyata adalah dua patahan prasasti. Namun sayang kondisinya kini telah aus, tanpa terlihat satu lekuk ukiran aksara kunonya.

Singoyudo terkenal dalam cerita masyarakat Bojonegoro sebagai penguasa yang memindahkan pusat pemerintahan kadipaten dari Desa Blongsong (Sayang), Kec. Baureno, menuju Desa Mojoranu. Kapan terjadinya proses pemindahan ibukota tersebut masih belum jelas. Ia adalah bupati kedua setelah pusat pemerintahan di Jipang (wilayah Blora) berpindah ke arah timur (wilayah Bojonegoro).

Selesai pendataan makam kini berpindah haluan menuju gua – gua yang ternyata berdekatan satu dengan lainnya. Masih di Desa Sumberarum, Kec. Dander, tim menelusuri 3 goa yang lokasinya berdekatan.

Goa Sumur
Lubang vertikal Goa Sumur
Goa ini lokasinya tidak jauh dari jalan raya Bojonegoro – Nganjuk. Lokasinya berada ditengah persawahan warga. Goa ini disebut “Sumur” karena memiliki lobang vertikal, dan juga didalam goa ini terdapat sungai bawah tanah. Warga setempat memanfaatkan keberadaan sungai dalam goa Sumur sebagai sumber irigasi di area pertanian mereka. Maka jangan heran jika wujud kreatifitas masyarkat setempat, menempatkan pompa air (mesin diesel) di dalam goa ini :’(
Mesin Diesel di dalam Goa Sumur


Saat masuk kedalam goa, tim disambut oleh seekor ular dibalik batu – batuan karang purba. Selain sumber mata air, goa ini ternyara juga dikenal sebagai goa ular. Hal ini dikarenakan dahulu dijadikan sarang ular.

Goa Lowo
Kunjungan berikutnya adalah menuju Goa Lowo. Goa ini memiliki lorong cukup lebar. Namun sayang kini “lowo” (kelelawar) penghuni goa telah tiada lagi. Dahulu sebeum hutan di sekitar goa dibabat habis, kelelawar banyak menghuni goa ini. Namun kini satu pun tak tersisa lagi.
Goa Lowo

Goa Menggah
Goa Menggah
Goa ini memiliki mulut goa yang lebih imut dibanding kedua goa sebelumnya. Menurut masyarakat yang pernah menelusuri kedalaman goa, didalam nya terdapat sungai bawah tanah yang cukup besar. Namun goa ini juga memiliki pantangan. Para pegawai negeri, atau pegawai pemerintahan dilarang masuk kedalam goa ini. Kepercayaan masyarakat sekitar, jika ada pegawai masuk kedalam goa maka akan terjadi musibah baginya, seperti pemecatan, bahkan hingga nyawa taruhannya.
Sendang di Sumberarum memiliki terowongan bawah tanah (sungai)

Inilah sedikit cerita perjalanan bersama teman – teman komunitas di Bojonegoro. Adapun penelusuran akan terus berlanjut ke desa – desa lainnya. Apakah di desa anda memiliki potensi sejarah?? Ayo berbagi & belajar bersama kami....

Novi BMW
PBB12, Kamis, 02/10/2014

Kamis, 25 September 2014

MAKAM RADEN ADIPATI HARYO MATAHUN

Kompleks Makam Raden Adipati Haryo Matahun
(Foto : Novi BMW, 28/08/2014)
Kamis , 28 Agustus 2014, Penyuluh Budaya Kab. Bojonegoro, Kasi. Kepurbakalaan dan Permuseuman Dinas Budpar Kab. Bojonegoro (Pak Mudiono) dan dua anggota Komunitas Banyu Nggawan Bojonegoro (Nunung & Defri) melakukan pendataan potensi Cagar Budaya di situs Adipati Haryo Matahun. Makam ini berlokasi di Ds. Ngraseh, Kec. Dander, Kab. Bojonegoro, Prov. Jawa Timur.

Kondisi kompleks makam kini telah dibangun dengan porselin, dan cungkup makam yang diperbaiki sehingga tidak tampak arsitektur kuno dari sebuah situs Cagar Budaya. Memang pada tahun 2005 kompleks Makam Adipati Haryo Matahun ini telah dipugar total atas perintah HM. Santoso, Bupati Kabupaten Bojonegoro kala itu.

Mengenai nama “Matahun” kita teringat dengan salah satu daerah Kerajaan vasal dari Kerajaan Majapahit. Dalam Prasasti maupun kitab susastra masa Majapahit, kita akan mengenal nama Bathara i Matahun. Bathara adalah sebutan untuk seorang Raja, “i” merupakan kata tunjuk tempat yang berarti “di”, sedangkan ”Matahun” adalah sebutan untuk suatu wilayah lungguh raja yang disebutkan. Apakah wilayah Matahun pada masa Majapahit ini sama dengan wilayah Matahun masa Kesultanan?

Serat Sejarah Matahunan (1862 J / 1931 M: 5) mengungkapkan tentang perjalanan utusan Raden Atmasupana II, yaitu Mas Sagus Suwondo, Mas Onggasemita, dan Rengga Drana untuk mencari lokasi serta berziarah ke Makam Raden Adipati Haryo Matahun pada 1857 M. Rombongan tersebut berhasil menemukan & sampai di Astana Majaranu[1] selang sepuluh hari dari keberangkatan. Kemudian diceritakan bahwa rombongan tersebut kembali ke Surakarta menaiki “baita” (perahu), hal ini menegaskan bahwa pada masa itu transportasi sungai dari hilir ke hulu (atau sebaliknya) melalui Bengawan Solo masih ramai dipergunakan.

Pada tahun 1924 M, Raden Tumenggung Mangunwadana, seorang bupati anom pangreh praja kota Surakarta, bermodalkan catatan dari Raden Atmasupana II, mencari kembali lokasi makam Raden Adipati Haryo Matahun. Atas bantuan Masdana Aditenaya, seorang pensiunan Patih Bujanegara[2], berhasil menemukan lokasi makam di Dusun Ngraseh, Desa Mojoranu, Onder distrik Dander[3] (Mangunwadana, 1862 J(1931M): 5-6).

Raden Tumenggung Mangunwadana setelah melihat kondisi makam Raden Adipati Haryo Matahun di astana Majaranu, kemudian tergerak untuk mengumpulkan keturunan-keturunan Matahun untuk merawat makam leluhurnya tersebut. Oleh karennya dibentuklah tim untuk mengumpulkan dan menelusuri keturunan dari Raden Adipati Haryo Matahun. Hasil pendataan tersebut selain terkumpulnya dana perawatan dan juga berhasil mendata keturunan – keturunan Matahun yang kemudian lahirlah Serat Sejarah Matahunan.

Raden Adipati Haryo Matahun gugur dalam peperangan melawan pasukan Madura[4] dan Sampang di Badholeng, wilayah Sidayu (Gresik). Peperangan tersebut terjadi karena Cakraningrat dari Madura tidak menghadap kepada Susuhunan Pakubuwono II di Kartasura. Oleh karennya, Raden Adipati Haryo Matahun dan bala tentara Jipang dikerahkan untuk menggempur Madura. Karena penguasa Sidayu, yaitu Raden Tumenggung Secadiningrat adalah putra Cakraningrat dari Madura, maka pertempuran pun terjadi di wilayah Sidayu, hingga gugurnya Raden Adipati Haryo Matahun di palagan PaBadholeng.
Makam Raden Adipati Haryo Matahun
(Novi BMW, 28/08/2014)

Gugurnya Raden Adipati Haryo Matahun terjadi pada hari Setu (Sabtu) Kliwon, tanggal 3, bulan Ruwah, tahun Jimakhir dalam Candra Sengkala gana (6) retu (6) obahing (6) jagad (1) atau tahun jawa “1666” (1735 M). Raden Tumenggung Kramawijaya, putra Adipati Haryo Matahun yang menjadi adipati ing Japan (sekitar Mojokerto), membawa Jenazah ayahnya tersebut ke wilayah Jipang. Akhirnya dimakamkan di Astana Majaranu[5], wilayah Bojanegara.

Sumber : Mangunwadana, dkk. 1862 J(1931 M). Serat Sejarah Matahunan. Surakarta: Drukkerij Liem Goan Bie



Novi BMW
PBB11, Kamis, 25/09/2014


[1] Astana Majaranu adalah lokasi makam Raden Adipati Haryo Matahun.
[2] Bujanegara / Bojanegara, sekarang bernama resmi Bojonegoro
[3] Sekarang Ngraseh menjadi desa tersendiri, dan pisah dengan Desa Mojoranu. Dua desa tersebut kini berada di wilayah Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro.
[4] Sebutan untuk kota Kerajaan dan atau pusat pemerintahan di daerah Bangkalan barat.
[5] Kini lokasi Makam masuk dalam wilayah administrasi Desa Ngraseh, karena telah memisahkan diri dari Desa Majaranu.

Kamis, 28 Agustus 2014

POTENSI KEBUDAYAAN DESA KANTEN

Samsul Hadi (Kepala Desa Kanten) bercerita tentang beberapa potensi kebudayaan di Desanya, antara lain mengenai seorang Dalang Wayang Purwa Bapak Sutikno (62) dan Sukarji dengan Group “Moro Seneng”. Alamatnya adalah Rt.07, Rw.02, Dukuh Pasinan, Desa Kanten, Kec Trucuk.
Sutikno

Koleksi Wayang banyak yang rusak, bahkan banyak yang ditembel dengan kertas, ada pula koleksi wayang yang diganti dengan wayang kertas. Untuk “tanggapan” (undangan pagelaran) sangat jarang, bahkan hampir tidak ada. Kegiatan rutin pun hanya acara tahunan pagelaran di desa Kanten sendiri. Untuk keberlangsungan eksistensinya maka Pak Sutikno sering menyewakan alat gamelannya untuk kegiatan reog, maupun acara wayang dari kelompok lain.

 Sutikno adalah saudara ipar Sukarji. mereka tergabung dalam grup Budaya “MORO SENENG”. Diuangkapkan, bahwa Pak Sutikno bukanlah dalang, hanya main-main wayang saja. Dahulu pengadaan seperangkat gamelan untuk hiburan masyarakat Kanten saja. Namun setelah membeli wayang beliau dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi Dalang. Iapun belajar menjadi dalang secara otodidak dengan membeli buku pakem pedalangan serta tekat yang kuat dilandasi cinta terhadap kesenian leluhur tersebut.

Desa Kanten juga memiliki Group Reog yang dipimpin oleh Bapak Sumaji lebih dahulu berdiri sebelum Group Moro Seneng ada. Namun kendala lalat musik menjadikan group reog ini bergbung dan kerjasama dengan Group Moro Seneng milik Dalang Sutikno.

Danyang Mbah Mangunsari

Desa Kanten memiliki tempat keramat yaitu “Gunung Bucu”. Gunung Bucu merupakan tempat keramat, dimana pada puncak bukit terdapat batu alam yang terdapat bentuk mirip bekas orang bertapa. Selain itu di salah satu lereng gunung terdapat gua Bucu.

Danyang Mbah Mangunsari berlokasi dekat dengan Balai Desa Kanten. Sayang sekali masyarakat masih belum mengetahui asal usul atau cerita tentang Mbah Mangunsari. Dahulu secara rutin masyarakat Kanten melakukan “manganan” (sedekah bumi) di punden ini, namun seiring kuatnya pelajaran dan pemahaman agama islam pada masa dikemudian hari menjadikan kegiatan tersebut tidak lagi dilakukan secara massal.

Punden Sembung dahulu ditemukan setruktur bangunan dari batu alam saat penggalian tanah pekarangan di punden sembung. Kini punden tersebut menjadi lahan pertanian sedangkan wujud punden tinggal tumbukan batu yang diatasnya terdapat makam baru. Selain ditemukan struktur batu juga ditemukan kerangka dan tengkorak manusia dan sumur kuno yang kini telah ditutup.

Desa Kanten dikenal juga dengan Desa Wedok (perempuan). Sebutan tersebut ada hubungannya dengan Sendang Ayu yang berada di belakang balai desa Kanten. Dipercaya dalam sendang tersebut terdapat penunggu yang disebut Danyang Wedok

Sumber Air Asin
Sumur Asin dan Kali Asin merupakan sumber mata air asin yang terletak di dukuh Mundu, Desa Kanten. Dahulu volume air yang dikeluarkan cukup besar namun seiring waktu sumber tersebut teruruk endapan tanah hingga volume air mengecil seprti sekarang. Dahulu masyarakat Kanten memproduksi garam sendiri dari air sumur Asin dan juga sumber kali asin. Namun seiring perkembangan industri garam Nusantara dan juga murahnya produksi garam pabrikan membuat masyarakat Kanten beralih ke garam industri yang dikemas secara instan. Sekitar tahun 1975 masyarakat Kanten tidak lagi membuat garam.

Novi BMW

PBB10, Kamis, 28/08/2014

Kamis, 21 Agustus 2014

PERAHU BESI KUNO DI BOJONEGORO

Perahu Besi Desa Ngraho dengan Rantai Besi kuno
Perahu besi di Desa Ngraho, Kec. Gayam, Kab. Bojonegoro ini ditemukan sekitar awal tahun 2013 lalu, kemudian berhasil diangkat dan kini berada pada area Punden Mbah Pung Prodo sejak bulan Juni 2013. Panjang Perahu ini sekitar 22 meter dan lebar lambung kapal sekitar 4 meter, kemudian pada pertengahan bulan Juli 2014 para penambang pasir menemukan rantai besi yang memiliki panjang sekitar 35 meter.

 Perahu besi ini memiliki lambung kapal yang disekat menjadi 5 bagian. Teknik pembuatan kapal besi ini menggunakan teknik keling, yaitu menempelkan bagian demi bagian lembaran besi dengan cara di tempel dan diberi semacam paku pengait. Teknik ini digunakan membuat perahu sebelum teknik las logam dikenal oleh manusia. Hal ini menunjukkan teknik sederhana dan kemungkinan dugunakan masa sebelum kolonial Belanda. Identifikasi sementara, perahu besi ini berasal pada masa VOC Belanda (1602 - 1800) untuk mengangkut hasil bumi di pedalaman Pulau Jawa untuk diperdagangkan keluar pulau Jawa.
Punden Mbah Pung Prodo
“Pembangunan tempat perahu dan tembok keliling punden ini dibangun sejak pemerintahan kepala desa yang lalu, nah kalau cungkup punen ini masa saya dan nanti sesuai amanah kepala desa yang dulu saya akan teruskan pula program pembangunan kolam di bawah tempat perahu dan penambahan paving di area punden” ungkap Bapak Samat (42) kepala Desa Ngraho yang baru, saat dikonfirmasi rencana kedepan penanganan Perahu Besi kuno.

Dari penuturan Bapak Muhsin (54), Kaur Pembangunan Desa Ngraho, ada pantangan bagi kaum wanita masuk ke area Punden Mbah Pung Prodo ini. Kaum perempuan masyarakat Desa Ngraho, sampai sekarang pun enggan masuk kelokasi punden. Bahkan jika ada ternak, terutama kambing penduduk masuk ke area punden, kaum perempuan Desa Ngraho membiarkannya karena takut untuk masuk kelokasi punden.
“Dahulu kalau ada wanita masuk area punden sini pasti mendapat bala, atau peristiwa buruk. Makanya sampai sekarang kaum wanita Desa Ngraho tidak ada yang berani masuk sini. Biasanya ada ibu – ibu yang menggembala kambing, terus kambingnya masuk punden, pasti dibiarkan saja nunggu kambingnya keluar punden. Soalnya g berani ambil kambing yang masuk area punden” tutur Pak Muhsin.
Rantai Besi yang ditemukan Juli 2014

Namun kini banyak pengunjung wanita dari luar daerah masuk untuk melihat – lihat temuan perahu, dan tidak ada yang melarang. Seperti halnya Nunung Deanawati, peneliti arkeologi dari Komunitas Banyu Nggawan Bojonegoro yang kala pendataan turut serta. Bahkan perempuan lulusan Arkelogi Udayana tersebut, mengaku beberapa kali datang melakukan penelitian di daerah tersebut.

Pemilihan tempat perahu di lokasi punden, adalah karena lokasi tersebut tidak jauh dari Bengawan dan tanahnya adalah tanah desa. Keberadaan perahu tersebut di area punden dapat menambah nilai sejarah dan budaya masyarakat Ngraho. Adapun kegiatan budaya masyarakat desa ini adalah setiap Jumat Pon pada bulan Suro (Muharam), kaum laki-laki selalu melakukan manganan (semacam sedekah bumi/nyadran) di punden Mbah Pung Prodo.

Bersama Perangkat Desa Ngraho, Kec. Gayam, Kab. Bojonegoro

Novi BMW
PBB9, Kamis, 21/08/2014

PARADE BUDAYA KABUPATEN KEDIRI 2014

Penari Thengul dan Pemain Oklik
Minggu, 10 Agustus 2014 Dinas Kebudayaan Kabupaten Bojonegoro mendapat undangn untuk memeriahkan Parade Budaya di Kabupaten Kediri. Dalam kesempatan ini, Kabuapten Bojonegoro menampilkan Tari Thengul yang diiringi alat musik tradisional Oklik.

Tari Thengul adalah karya tari sebagai wujud gerak yang terinspirasi dari Kesenian Wayang thengul khas Bojonegoro. gerak yang unik mengekspresikan gerak tingkah wayang Thengul, membuat tarian ini cukup diminati oleh penontonnya. Tarian ini menonjolkan mimik serat ekspresi wajah penari yang dipadu dengan kelincahan gerak mengikuti irama lagu yang mengiringi.
Berpanas - Panas Ria menunggu giliran Start

Sedangkan kesenian Oklik adalah kesenian tradisional yang menggunakan peralatan sederhana yaitu kentongan dari bambu yang dibunyikan dengan irama teratur sehingga membangun musik kreatif berunsur akustik dengan suara enak didengar.

Dalam parade ini kontingan Kabupaten Bojonegoro mendapat nomor 16 strat dari museum Simpang Lima Gumul (SLG), bergerak menuju Kantor Bupati Kabupaten  Bupati Kabupaten Kediri. Walaupun panas terik sang Surya menyengat, pemuda – pemudi perwakilan Bojonegoro pun tetap tampil penuh semangat.
Aksi Penari Thengul
Kontingen Kabupaten Bojonegoro kali ini dikomandani langsung oleh Drs. Suyanto, MM selaku Kepala Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro. Dengan seringnya mengikuti kegiatan Parade Budaya di luar daerah, beliau berharap mampu memperkenalkan kesenian daerah Bojonegoro yang kita cintai ini lebih luas kemasyarakat Indonesia.
Akhirnya... Senjakala di depan Finish

Novi BMW
PBB 08 (hutang Kamis, 14/08/2014)



Kamis, 07 Agustus 2014

PAMERAN PELESTARIAN SEJARAH DAN BUDAYA KOTA KEDIRI


Kediri merupakan salah satu daerah kaya tinggalan Sejarah serta budaya. Pada 27 Juli 2014 telah berusia 1135 tahun. Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Kediri menggelar sebuah acara Pameran Pelestarian Sejarah dan Budaya Kota Kediri di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Kota Kediri dari hari Kamis, 07 hingga Sabtu, 09 Agustus 2014.

Pameran Pelestarian Sejarah dan Budaya Kota Kediri 2014 dibuka oleh Sekretaris Daerah Kota Kediri, Bapak Agus Wahyudi, SH, Msi, selepas upacara pembukaan selesai, beliau menyempatkan berkunjung ke stand – stand pameran. Salah satu stand yang begitu menarik perhatian beliau adalah stand Komunitas PASAK.

PASAK adalah Komunitas Pelestari Sejarah – Budaya Kadhiri, yang pada pameran ini menampilkan berbagai koleksi milik komunitas maupun koleksi dari para anggota nya. Dengan konsep pameran yang tidak hanya menampilkan koleksi foto, literatur kuno dan artefaktual, komunitas ini menampilkan pula koleksi baju Panji – Galuh, Baju Wayang Gatot Kaca, dan juga Baju Pejuang Kemerdekaan untuk para pengunjung yang berminat menggunakannya. Dengan konsep tersebut ternyata antusias pengunjung sangat besar kepada stand yang satu ini.

Salah satu koleksi yang menarik adalah Fosil Lobster yang ditemukan warga Kabupaten Bojonegoro, yang kini menjadi koleksi Komunitas PASAK. Bojonegoro memang pantas disebut Bumi Balung Buto (Tanah Fosil), karena kaya temuan Fosil Hewan -hewan Purba. Temuan Fosil Hewan Purba lain yang berasal dari Kabupaten Bojonegoro adalah Fragmen Tengkorak Kudanil Purba (Hippopotamus). Dua temuan fosil ini cukup menarik, dimana hewan laut seperti Lobster dan juga Kudanil pernah hidup di Nusantara.

Tri Wahyu Ningati, pemeran Dewi Sekartaji di Stand PASAK mengaku pertama kali mengikuti kegiatan pameran semacam ini. Mahasiswi Universitas Malangkuceswara ini merasa tersanjung dapat menjadi Duta Budaya dari Komunitas PASAK dan berpartisipasi penuh dalam menyukseskan pameran budaya ini. Walau lelah sampai kuwalahan menghadapi para pengunjung yang bertanya tentang koleksi stand PASAK, hingga antri meminta foto bersama, ia tetap semangat dan akan melayani para pengunjung dengan senyum manis hingga hari Sabtu kedepan.

Selain Wahyu, Duta Budaya lainnya adalah Gustio Wahyu Wirata, pemuda ganteng ini berperan sebagai Raden Panji Inukertapati di stand PASAK. Gusti pun kewalah menghadapi serbuan pengunjung yang hilir mudik dari pagi hingga sore hari. Namun dengan semangat yang menggebu untuk membantu memperkenalkan potensi luhur kebudayaan nenek moyang, ia pun sampai berganti kostum sebagai Pangeran Gatotkaca putra Bima yang perkasa.

Semoga acara Pameran Pelestarian Sejarah dan Budaya Kota Kediri ini mampu mensosialisakan kepada masyarakat tentang arti pentingnya peninggalan sejarah Nusantara dan Kebudayaan di Bumi Kadhiri khususnya. Sehingga mampu merangsang peran aktif pelestarian Sejarah dan Budaya Kediri yang tahun 2014 ini telah berusia 1135 tahun. Salam *PANJALU JAYATI ri BUMI KADHIRI*

Rabu, 30 Juli 2014

PANGERAN PANJI PULANGJIWA DAN PANGERAN RAMA

Cungkup Makam Pangeran Pulangjiwa
(Foto : Novi BMW, 08/10/2013)
Bukit Asta, di Desa Kebonagung, Kec. Kota Sumenep, Kab. Sumenep merupakan lokasi pemakaman para pemimpin Kesultanan Sumenep, “Asta Tinggi” yang terkemuka. Kompleks makam ini merupalan salah satu tujuan peziarah dari seluruh negeri saat berkunjung ke pulau Madura.

Pada kompleks pemakaman Asta Tinggi, terdapat satu cungkup yang dikunjungi terlebih awal oleh para peziarah, dimana dalam cungkup ini dimakamkan para pemimpin terdahulu (sepoh) di Sumenep. Cungkup makam ini disebut Cungkup Makam Pangeran “Panji Pulangjiwa”. Dalam cungkup ini terdapat 22 Makam, dan 6 makam pemimpin utama.

A.     PANGERAN PANJI PULANGJIWA
Makam-makam dalam Cungkup Makam Pangeran Panji Pulang Jiwa
(Foto : Novi BMW, 08/10/2013)
Pangeran Panji Pulangjiwa merupakan salah satu pangeran yang terkenal baik di Jawa maupun Madura, bahkan namanya sudah melegenda diwilayah Jawa – Madura. Namun bagaimanakah kesejarahan beliau dipemerintahan Sumenep??
Kisah Panji Pulangjiwa kita mulai dari wafatnya Tumenggung Yudanegara (Penguasa Sumenep & Sahabat Trunojoyo) pada November 1684 M. Karena Tumenggung tidak memiliki anak laki-laki pemerintahan Katemenggungan Sumenep diperebutkan oleh empat menantunya. Mereka adalah Pangeran Panji Pulangjiwa, Pangeran Baskara, Pangeran Wirasari dan Pangeran Gatutkaca.

Pangeran Panjipulangjiwa merupakan menantu tertua yang didukung oleh Patih Brajapati, ia merupakan patih kepercayaan dari almarhum Tumenggung Yudanegara. ia menganggap dirinyalah yang berkuasa di seluruh Madura timur. Namun, ketiga Saudara iparnya pun menuntut hak sebagai penguasa di Madura Timur.

Kesultanan Mataram Amangkurat II di Kartasura, sebagai pusat pemerintahan Madura (Bangkalan), Sampang, Blega dan Sumenep (Sumenep dan Pamekasan) kala itu, meminta pihak VOC menengahi konflik tersebut. Akhirnya dari pihak VOC mengutus Jeremias van Vliet ke ujung timur Pulau Jawa (Graff, 1987).


Pada awal tahun 1685, van Vliet berhasil mengumpulkan empat Saudara ipar tersebut di Surabaya. Van Vliet menganjurkan agar mereka berempat mengakhiri perselisihan, kemudian mengusulkan agar Pangeran Pulangjiwa dan Pangeran Baskara, sebagai dua berSaudara tertua, memerintah di Sumenep. Sedangkan dua Saudara ipar yang lebih muda akan menguasai Pamekasan, di bawah pengawasan ipar tertua. Selanjutnya akan dimintakan pertimbangan Sunan (Susuhunan Amangkurat) dan Kompeni (VOC) yang akan dicapai nanti apabila komisaris Tack (Kapten Tack) mengunjungi Kartasura (inkomend Briefboek Surabaja, 1685 dalam Graff, 1987).

Terdapat berita dari Laporan Belanda tahun 1686, bahwa Bupati Sumenep tidak lagi menghiraukan kekuasaan Cakraningrat  dari Madura (Madura Barat). Serta tidak mau tunduk di bawah Susuhunan (Mataram) secara langsung. Sumenep cenderung berada di bawah perlindungan Kompeni. Dijelaskan pula dalam laporan tersebut, Aria Pulangjiwa memohon untuk dapat memerintah sepenuhnya atas daerah dan rakyatnya (Resink, 1987).

Pada 17 Juli 1685 para Bupati penguasa pesisir pantai utara jawa dan pantai selatan Madura (dari Tuban hingga Blambangan) mengadakan pertemuan di Surabaya. Pertemuan tersebut untuk merundingkan dengan pihak Belanda tentang cara memerangi Bajak Laut dan Raja Blambangan. Mengharukan saat Tumenggung Panji Pulangjiwa dari Sumenep berdatang sembah di hadapan Cakraningrat dari Madura barat (Sampang). Dilukiskan saat pertemuan tersebut Cakraningrat yang telah lanjut usia itu mencucurkan air mata. Hal ini dikarenakan antara Madura Timur (Sumenep-Pamekasan) dengan Madura Barat (Sampang-Blega-Arosbaya-Madura/Bangkalan) selalu bermusuhan. Saat itu Panji Pulangjiwa diberi wejangan agar selalu bersahabat dengan Cakraningrat, sambil membungkuk hormat Panji Pulangjiwa pun berjanji berdamai. Akhirnya salah satu penguasa Sumenep itu pun diperbolehkan duduk berdampingan dengan penguasa Sampang yang lanjut usia tersebut (Graff, 1987).

Pada pertemuan 17 Juli 1685 tersebut, diundang pula tiga penguasa Madura Timur, Saudara ipar Panji Pulangjiwa. Namun hanya Tumenggung Baskara mengutus ibu mertuanya, Nyai Kani istri almarhum Yudanegara dan anaknya yang belum akil balig, yaitu Raden Suderma. Sedangkan dua penguasa Madura Timur lainnya tidak hadir (T. Wirasari dan T. Gatutkaca). Oleh karenanya, van Vliet hanya dapat beramah tamah dengan Tumenggung Panji Pulangjiwa dan Raden Suderma. Setelah acara di Surabaya selesai, van Vliet beserta rombongan Tumenggung Panji Pulangjiwa dan Raden Suderma menuju ke Jepara menanti kedatangan Kapten Tack.  Untuk kemudian bersama-sama mengiringi Kapten Tack berkunjung ke Kartasura menghadap Susuhunan Amangkurat II, sehubungan masalah pembagian wilayah kekuasaan mereka di Madura Timur (Graff, 1987).
Penelitian bersama Komunitas Pelestari Sejarah Budaya Sumenep "Songennep Tempo Doeloe" di bukit Asta Tinggi
(Foto : Robby, 16/06/2013)
B.    PANGERAN RAMA
Babad Songennep (Wedisastra, 1921) mengungkapkan bahwa Pangeran Rama adalah putra dari R.A. Otok dengan Pangeran Gatutkaca dari Pamekasan. Mengenai pengungkapan silsilah keturunan Yudanegara pada Babad Songennep perlu diteliti lebih lanjut, karena banyak ketidak sesuaian dengan data primer yang sejaman dengan peristiwa. Dalam babad disebutkan bahwa pernikahan antara R.A. Batur dengan Pangeran Baskara tidak dikaruniai anak, namun dalam laporan van Vliet yang menjamu dan bertemu langsung dengan tokoh-tokoh tersebut menerangkan bahwa Pangeran Baskara memiliki putra laki-laki bernama Raden Suderma (Graff, 1987). Raden Suderma inilah yang sebenarnya didukung van Vliet untuk menggantikan Yudanegara.

Dalam faktanya Pangeran Rama menjadi penguasa Sumenep dan berhasil mempersatukan wilayah Madura Timur (Sumenep-Pamekasan) di bawah naungan pemerintahannya. Apakah Raden Suderma yang disebutkan van Vliet adalah sama dengan Pangeran Rama ini? Jika benar berarti ia merupakkan putra Pangeran Baskara dengan R.A. Batur.

Pangeran Rama mempersatukan pemerintaan Madura Timur, kemudian ia bergelar Cakranegara II. Pada tanggal 09 April 1705, pemerintahan seluruh Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan) resmi diserahkan kepada Cakranegara II. Ia dikukuhkan berdasarkan perintah Gubernur Jenderal dan Dewan Pertimbangan Agung (Raad van indie) Komisaris Kompeni (Resink, 1987).

Sehubungan dengan salah satu poin perjanjian tentang jatuhnya Sumenep dan Pamekasan ke tangan VOC, pada tanggal 05 Oktober 1705 terdapat perjanjian antara Susuhunan (Amangkurat II) dan Kompeni Belanda. Adapun isi dari pernyataan perjanjian tersebut ialah :

“Paduka yang Mahamulia Susuhunan dengan ini menyerahkan secara syah kepada Kompeni untuk melindungi daerah-daerah Sumenep dan Pamekasan..... secara yang sama seperti dilakukan oleh Bupati yang terdahulu waktu menyerahkan daerahnya kepada Kompeni.....” (Resink, 1987).

Pernyataan tersebut memberikan informasi bahwa Sumenep dan Pamekasan secara resmi jatuh ke bawah perlindungan dan milik Kompeni sejak pemerintahan Pangeran Rama. Pangeran Rama atau Cakranegara II berhasil melepaskan diri dari hegemoni Kesultanan Mataram di Kartasura.

Novi BMW
PB Bojonegoro, eks PB Sumenep
(PBS, Kamis 31/07/2014)

Sumber Rujukan :

Graff, H.J.1987. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti

Resink, G.J. 1987. Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia, 1850-1910. Jakarta : Djambatan

Werdisastra, R. 1921. Babad Songennep. Jakarta : Balai Pustaka