Kamis, 25 September 2014

MAKAM RADEN ADIPATI HARYO MATAHUN

Kompleks Makam Raden Adipati Haryo Matahun
(Foto : Novi BMW, 28/08/2014)
Kamis , 28 Agustus 2014, Penyuluh Budaya Kab. Bojonegoro, Kasi. Kepurbakalaan dan Permuseuman Dinas Budpar Kab. Bojonegoro (Pak Mudiono) dan dua anggota Komunitas Banyu Nggawan Bojonegoro (Nunung & Defri) melakukan pendataan potensi Cagar Budaya di situs Adipati Haryo Matahun. Makam ini berlokasi di Ds. Ngraseh, Kec. Dander, Kab. Bojonegoro, Prov. Jawa Timur.

Kondisi kompleks makam kini telah dibangun dengan porselin, dan cungkup makam yang diperbaiki sehingga tidak tampak arsitektur kuno dari sebuah situs Cagar Budaya. Memang pada tahun 2005 kompleks Makam Adipati Haryo Matahun ini telah dipugar total atas perintah HM. Santoso, Bupati Kabupaten Bojonegoro kala itu.

Mengenai nama “Matahun” kita teringat dengan salah satu daerah Kerajaan vasal dari Kerajaan Majapahit. Dalam Prasasti maupun kitab susastra masa Majapahit, kita akan mengenal nama Bathara i Matahun. Bathara adalah sebutan untuk seorang Raja, “i” merupakan kata tunjuk tempat yang berarti “di”, sedangkan ”Matahun” adalah sebutan untuk suatu wilayah lungguh raja yang disebutkan. Apakah wilayah Matahun pada masa Majapahit ini sama dengan wilayah Matahun masa Kesultanan?

Serat Sejarah Matahunan (1862 J / 1931 M: 5) mengungkapkan tentang perjalanan utusan Raden Atmasupana II, yaitu Mas Sagus Suwondo, Mas Onggasemita, dan Rengga Drana untuk mencari lokasi serta berziarah ke Makam Raden Adipati Haryo Matahun pada 1857 M. Rombongan tersebut berhasil menemukan & sampai di Astana Majaranu[1] selang sepuluh hari dari keberangkatan. Kemudian diceritakan bahwa rombongan tersebut kembali ke Surakarta menaiki “baita” (perahu), hal ini menegaskan bahwa pada masa itu transportasi sungai dari hilir ke hulu (atau sebaliknya) melalui Bengawan Solo masih ramai dipergunakan.

Pada tahun 1924 M, Raden Tumenggung Mangunwadana, seorang bupati anom pangreh praja kota Surakarta, bermodalkan catatan dari Raden Atmasupana II, mencari kembali lokasi makam Raden Adipati Haryo Matahun. Atas bantuan Masdana Aditenaya, seorang pensiunan Patih Bujanegara[2], berhasil menemukan lokasi makam di Dusun Ngraseh, Desa Mojoranu, Onder distrik Dander[3] (Mangunwadana, 1862 J(1931M): 5-6).

Raden Tumenggung Mangunwadana setelah melihat kondisi makam Raden Adipati Haryo Matahun di astana Majaranu, kemudian tergerak untuk mengumpulkan keturunan-keturunan Matahun untuk merawat makam leluhurnya tersebut. Oleh karennya dibentuklah tim untuk mengumpulkan dan menelusuri keturunan dari Raden Adipati Haryo Matahun. Hasil pendataan tersebut selain terkumpulnya dana perawatan dan juga berhasil mendata keturunan – keturunan Matahun yang kemudian lahirlah Serat Sejarah Matahunan.

Raden Adipati Haryo Matahun gugur dalam peperangan melawan pasukan Madura[4] dan Sampang di Badholeng, wilayah Sidayu (Gresik). Peperangan tersebut terjadi karena Cakraningrat dari Madura tidak menghadap kepada Susuhunan Pakubuwono II di Kartasura. Oleh karennya, Raden Adipati Haryo Matahun dan bala tentara Jipang dikerahkan untuk menggempur Madura. Karena penguasa Sidayu, yaitu Raden Tumenggung Secadiningrat adalah putra Cakraningrat dari Madura, maka pertempuran pun terjadi di wilayah Sidayu, hingga gugurnya Raden Adipati Haryo Matahun di palagan PaBadholeng.
Makam Raden Adipati Haryo Matahun
(Novi BMW, 28/08/2014)

Gugurnya Raden Adipati Haryo Matahun terjadi pada hari Setu (Sabtu) Kliwon, tanggal 3, bulan Ruwah, tahun Jimakhir dalam Candra Sengkala gana (6) retu (6) obahing (6) jagad (1) atau tahun jawa “1666” (1735 M). Raden Tumenggung Kramawijaya, putra Adipati Haryo Matahun yang menjadi adipati ing Japan (sekitar Mojokerto), membawa Jenazah ayahnya tersebut ke wilayah Jipang. Akhirnya dimakamkan di Astana Majaranu[5], wilayah Bojanegara.

Sumber : Mangunwadana, dkk. 1862 J(1931 M). Serat Sejarah Matahunan. Surakarta: Drukkerij Liem Goan Bie



Novi BMW
PBB11, Kamis, 25/09/2014


[1] Astana Majaranu adalah lokasi makam Raden Adipati Haryo Matahun.
[2] Bujanegara / Bojanegara, sekarang bernama resmi Bojonegoro
[3] Sekarang Ngraseh menjadi desa tersendiri, dan pisah dengan Desa Mojoranu. Dua desa tersebut kini berada di wilayah Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro.
[4] Sebutan untuk kota Kerajaan dan atau pusat pemerintahan di daerah Bangkalan barat.
[5] Kini lokasi Makam masuk dalam wilayah administrasi Desa Ngraseh, karena telah memisahkan diri dari Desa Majaranu.