Dermaga Penyebrangan di Bengawan Solo (Foto : Novi BMW, 26/01/2015) |
Bengawan Solo dan Brantas merupakan jalan
utama distribusi maupun media transportasi cepat dari pedalaman menuju daerah
luar pulau jawa. Pada masa dimana transportasi darat masih tradisional dan
medan yang sulit, apalagi transportasi udara masih belum ditemukan, maka
transportasi air lah jalan utama. Sehingga keberadaan sungai pada masa kerajaan
bercorak Hindu-Budha hingga awal kolonialisme di Jawa sangatlah vital. Siapapun
yang menguasai wilayah DAS kedua sungai besar tersebut berarti pula menguasai
urat nadi perekonomian Jawa. Oleh karenanya, di sepanjang aliran sungai-sungai
besar dahulu terbentuk kota-kota yang maju sebagai kota pelabuhan di pedalaman
pulau.
Bengawan Solo dimasa sebelum Kesultanan
Mataram lahir, lebih dikenal dengan nama “Bangawan
Wulayu”. Penamaan “Wulayu” diambil dari nama daerah (Desa) pelabuhan di
area Hulu, dimana diperkirakan sebagai desa naditira
pradeça (pelabuhan sungai) yang ramai di pedalaman Pulau Jawa. Nama “Wulayu”
diabadikan dalam Prasasti Canggu (1280 Çaka) Lempeng ke-5 baris 2, sebagai
pelabuhan terakhir di Bengawan.
Keberadaan pelabuhan sungai di
sepanjang tepian Bengawan Brantas dan Bengawan Solo terekam dalam Prasasti
Canggu (1280 Çaka). Pada lempeng ke-5 disebutkan nama-nama desa pelabuhan (naditira pradeça) di tepi Bengawan
Brantas dan Bengawan Solo. Jika lempeng ke-4 dari prasasti ini dapat ditemukan,
maka jumlah pelabuhan di tepi Bengawan Brantas dapat ditelusuri lebih lengkap
dari daerah hulu hingga hilir. Adapun nama desa-desa pelabuhan dalam Prasasti
Canggu (1280 Çaka) yang diperkirakan dahulu berada di sekitar wilayah
Bojonegoro sekarang adalah sebagai berikut:
Lempeng 5 sisi depan (recto):
6. .................. , i widang,
i pakbohan, i lowara, i duri, i raçi, i rewun, i tgalan, i dalangara, i
Lempeng 5 sisi belakang (verso):
1.
sumbang, i malo, i ngijo, i
kawangen, i sudah, i kukutan, i balun, i marebo, i turan, i jipang, i ngawi, i
wangkalang,
2.
i pnuh, i walung, i barang, i
pakatelan, i wareng, ing amban, i kembu, i wulayu, sarwwe, ika ta kabeh, naditirapradeça.... (Pigeaud,
1960).
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia:
Lempeng 5 sisi depan (recto):
6. .............. di Widang, di
Pakbohan, di Lowara, di Duri, di Raçi, di Rewun, di Tgalan, di
Dalangara, di
Lempeng 5 sisi belakang (verso):
1. Sumbang, di Malo, di Ngijo, di
Kawangen, di Sudah, di Kukutan, di Balun, di Marebo, di Turan, di Jipang, di
Ngawi, di Wangkalang,
2. di Pnuh, di Walung, di Barang, di
Pakatelan, di Wareng, di Amban, di Kembu, di Wulayu, itulah seluruh, wilayah
pinggir sungai.... (Munib, 2011).
Beberapa nama naditira pradeça yang disebutkan dalam
Prasasti Canggu tersebut, sampai sekarang masih dapat ditemukan, Seperti
contohnya desa pelabuhan Widang yang
hingga sekarang masih tetap sama bernama Desa Widang Kec. Widang, Kab. Tuban.
Setelah itu barulah masuk ke beberapa desa yang dapat diprediksi berada di
wilayah Kab. Bojonegoro. Namun sayang identifikasi dari Desa
pakbohan, lowara, duri, raçi, rewun, tgalan, dan dalangara belum dapat ditemukan.
Kita dapati mulai Desa Sumbang yang sekarang tetap menjadi
Sumbang Timun di Kecamatan Trucuk. Desa Malo menjadi nama ibukota Kecamatan
Malo, namun Desa Ngijo belum dapat
diidentifikasi. Adapun identifikasi Desa Kawangen
masih kita dapati dua toponim yaitu Desa Kawengan, Kec. Kadewan dan Dukuh
Kwangen, Kec. Kalitidu[1].
Kemudian disebutkan adanya Desa Sudah, yang hingga sekarang masih
menjadi nama desa di Kec. Malo. Sedang Desa Kukutan
belum dapat diidentifikasi, namun Desa Balun
hingga sekarang masih menjadi nama desa di Kec. Cepu, Kab. Blora. Untuk
Desa Marebo dan Turan belum dapat
diidentifikasi, namun untuk nama Desa Jipang
hingga sekarang masih dapat ditemukan berada di Kec. Cepu, Kab. Blora.
Kemudian Ngawi, yang sekarang menjadi nama kabupaten di selatan Kabupaten
Bojonegoro.
Keberadaan Desa-desa pelabuhan pinggir sungai
di wilayah Kabupaten Bojonegoro sejak masa Majapahit, membuktikan bahwa wilayah
ini merupakan wilayah yang maju dengan pusat pelabuhannya. Adanya pelabuhan
merupakan bukti aktifnya mobilitas masyarakat dalam berkehidupan mewarnai
sejarah Nusantara. Oleh karenanya, perlu diadakan penelitian lebih lanjut dalam
upaya rekonstruksi peradaban lembah Bengawan Solo di wilayah Bojonegoro,
terutama identifikasi Pelabuhan Lowara[2]
berada di sekitar wilayah Bojonegoro Timur, bukan Desa Ngloram[3] di
Kec.Cepu yang selama ini diperkirakan masyarakat umum.
Di akhir masa Majapahit, kita
dapati pula laporan perjalanan Bujangga Manik dari Sunda menuju Pulau Bali, ia
melewati pula Sungai besar yang disebutnya “Ciwuluyu” (Sungai Wuluyu). Sungai
Wuluyu ini merupakan penyebutan Bujangga Manik terhadap Bengawan Wulayu yang
kini kita kenal dengan nama Bengawan Solo.
Ka kéncan jajahan Demak,
Ti wétan na Welahulu.
Ngalalaring ka Pulutan,
Datang ka Medang Kamulan.
Sacu(n)duk ka Rabut Jalu,
Ngalalaring ka Larangan
Sadatang aing ka Jempar,
Meu(n)tasing di Ciwuluyu,
Cu(n)duk ka lurah Gegelang,
Ti kidul Medang Kamulan,
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia:
Ke sebelah kiri wilayah Demak,
Di timurnya Gunung Welahulu.
Aku berjalan lewat Pulutan,
Datang ke Medang Kamulan.
Setibanya ke Rabut Jalu,
Aku berjalan lewat Larangan.
Sesampainya aku ke Jempur,
Kuseberangi sungai Ciwuluyu,
Sampai ke daerah Gegelang,
Sebelah selatan Medang Kamulan,
(Noorduyn
& Teeuw, 2009).
Kemudian pada Masa Kesultanan Mataram hingga beberapa
dekade sebelum Solo berkembang pesat menjadi Ibukota Pemerintahan Kasunanan
Surakarta, nama Desa Semanggi menjadi tenar dari hulu hingga hilir disebut
dengan Bengawan Semanggi. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa laporan maupun
tulisan dari keraton, dan juga karya populer Babad Tanah Jawi. Sebutan untuk
Bengawan Solo masih menggunakan “Banawi
Semanggi” (Olthof, 2013).
Perahu Kayu Padang, Kec. Trucuk, Kab. Bojonegoro (Foto : Novi BMW, 16/04/2015) |
Semanggi kini adalah nama
Kelurahan berada di ujung tenggara Kota Surakarta. Ada yang berpendapat bahwa
Semanggi merupakan nama baru dari Wulayu. Dilihat dari pelabuhan Kembu, yang
kini masuk wilayah Karanganyar, maka lokasi Wulayu pun seharusnya disekitar
Surakarta, dan Semanggi tiba-tiba muncul menjadi dermaga terkenal. Oleh
karenanya, dilihat dari perikiraan geografis dan perkembangan daerah,
identifkasi Wulayu berada di sekitar atau bahkan kini berada di Kelurahan
Semanggi.
Setelah Keraton dipindah dari
Kartasura ke Dusun Solo, maka perkembangan sosial ekonomi di Solo pun
berpengaruh terhadap sebutan para saudagar dari luar menuju pusat pemerintahan
yang dekat dengan Bengawan. Maka Bengawan yang dekat dengan pusat keraton di
Solo ini pun berubah disebut dengan Bengawan Solo higga kini. Bojonegoro yang
kala itu masuk wilayah Kadipaten Jipang, juga menjadi salah satu urat nadi
perdagangan melalui Bengawan Solo. Temuan Perahu Kayu di Desa Padang, Kec. Trucuk
dan 2 perahu besi masa VOC telah membuktikan pentingnya jalur perdagangan di
wilayah Bojonegoro kala itu.
Perahu Besi Desa Ngraho, Kec. Gayam, Kab. Bojonegoro (Foto : Novi BMW, 11/09/2015) |
DAFTAR
RUJUKAN
Munib,
N.B. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatwang
di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170 - 1215 Caka: Tinjauan
Geopolitik . Malang : Univ. Negeri Malang
Noorduyn, J dan Teeuw, A. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Hawe Setiawan (penerjemah). Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
Olthof, W.L. 2013. Babad Tanah Jawi : Dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta :
NARASI
Pigeaud, Th G T. 1960. Java in the fourteenth
century: A study in cultural history: The Nagarakrtagama by Yakawi Prapanca of
Majapahit 1365 AD. Vol I. The Hague: Martinus Nijhoff.
Suryo, D, dkk. 1995/1996. Dinamika Sosial
Budaya Masyarakat di Pulau Jawa Abad VIII-XX. Yogyakarta: Kerjasama Dinas
Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dengan Fakultas Sastra
UGM.
[1] Kedua
lokasi daerah ini tidak berada di tepian Bengawan Solo, sehingga belum begitu
kuat identifikasi diantara keduanya, ataukah dahulu merupakan nama daerah yang
meliputi wilayah hingga pinggir Bengawan?
[2] Bila dirunut dari posisi pelabuhan Widang, maka identifikasi
pelabuhan Lowara adalah di wilayah Bojonegoro timur. Nama Lowara begitu
terkenal dalam sejarah Nasional sebagai lokasi awal serangan Raja Worawari
terhadap Dharmawangsa Tguh
[3] Desa Ngloram diidentifikasi merupakan salah satu wilayah
Jipang, jadi keberadaan Desa Ngloram masa kerajaan belum muncul.
Terima kasih, Pak. Baru tahu saya tentang 'Benawi Semanggi' ini :)
BalasHapus