Cungkup Makam Pangeran Pulangjiwa (Foto : Novi BMW, 08/10/2013) |
Pada kompleks pemakaman Asta Tinggi, terdapat
satu cungkup yang dikunjungi terlebih awal oleh para peziarah, dimana dalam
cungkup ini dimakamkan para pemimpin terdahulu (sepoh) di Sumenep. Cungkup makam ini disebut Cungkup Makam Pangeran
“Panji Pulangjiwa”. Dalam cungkup ini terdapat 22 Makam, dan 6 makam pemimpin utama.
A.
PANGERAN
PANJI PULANGJIWA
Makam-makam dalam Cungkup Makam Pangeran Panji Pulang Jiwa (Foto : Novi BMW, 08/10/2013) |
Kisah Panji Pulangjiwa kita mulai dari
wafatnya Tumenggung Yudanegara (Penguasa Sumenep & Sahabat Trunojoyo) pada
November 1684 M. Karena Tumenggung tidak memiliki anak laki-laki pemerintahan
Katemenggungan Sumenep diperebutkan oleh empat menantunya. Mereka adalah Pangeran
Panji Pulangjiwa, Pangeran Baskara, Pangeran Wirasari dan Pangeran Gatutkaca.
Pangeran Panjipulangjiwa merupakan menantu
tertua yang didukung oleh Patih Brajapati, ia merupakan patih kepercayaan dari
almarhum Tumenggung Yudanegara. ia menganggap dirinyalah yang berkuasa di
seluruh Madura timur. Namun, ketiga Saudara iparnya pun menuntut hak sebagai
penguasa di Madura Timur.
Kesultanan Mataram Amangkurat II di Kartasura,
sebagai pusat pemerintahan Madura (Bangkalan), Sampang, Blega dan Sumenep (Sumenep
dan Pamekasan) kala itu, meminta pihak VOC menengahi konflik tersebut. Akhirnya
dari pihak VOC mengutus Jeremias van Vliet ke ujung timur Pulau Jawa (Graff,
1987).
Pada awal tahun 1685, van Vliet berhasil
mengumpulkan empat Saudara ipar tersebut di Surabaya. Van Vliet menganjurkan
agar mereka berempat mengakhiri perselisihan, kemudian mengusulkan agar
Pangeran Pulangjiwa dan Pangeran Baskara, sebagai dua berSaudara tertua,
memerintah di Sumenep. Sedangkan dua Saudara ipar yang lebih muda akan
menguasai Pamekasan, di bawah pengawasan ipar tertua. Selanjutnya akan dimintakan
pertimbangan Sunan (Susuhunan Amangkurat) dan Kompeni (VOC) yang akan dicapai
nanti apabila komisaris Tack (Kapten Tack) mengunjungi Kartasura (inkomend Briefboek Surabaja, 1685 dalam
Graff, 1987).
Terdapat berita dari Laporan Belanda tahun 1686,
bahwa Bupati Sumenep tidak lagi menghiraukan kekuasaan Cakraningrat dari Madura (Madura Barat). Serta tidak mau
tunduk di bawah Susuhunan (Mataram) secara langsung. Sumenep cenderung berada
di bawah perlindungan Kompeni. Dijelaskan pula dalam laporan tersebut, Aria
Pulangjiwa memohon untuk dapat memerintah sepenuhnya atas daerah dan rakyatnya
(Resink, 1987).
Pada 17 Juli 1685 para Bupati penguasa
pesisir pantai utara jawa dan pantai selatan Madura (dari Tuban hingga
Blambangan) mengadakan pertemuan di Surabaya. Pertemuan tersebut untuk
merundingkan dengan pihak Belanda tentang cara memerangi Bajak Laut dan Raja
Blambangan. Mengharukan saat Tumenggung Panji Pulangjiwa dari Sumenep berdatang
sembah di hadapan Cakraningrat dari Madura barat (Sampang). Dilukiskan saat
pertemuan tersebut Cakraningrat yang telah lanjut usia itu mencucurkan air
mata. Hal ini dikarenakan antara Madura Timur (Sumenep-Pamekasan) dengan Madura
Barat (Sampang-Blega-Arosbaya-Madura/Bangkalan) selalu bermusuhan. Saat itu Panji
Pulangjiwa diberi wejangan agar selalu bersahabat dengan Cakraningrat, sambil
membungkuk hormat Panji Pulangjiwa pun berjanji berdamai. Akhirnya salah satu
penguasa Sumenep itu pun diperbolehkan duduk berdampingan dengan penguasa
Sampang yang lanjut usia tersebut (Graff, 1987).
Pada pertemuan 17 Juli 1685 tersebut,
diundang pula tiga penguasa Madura Timur, Saudara ipar Panji Pulangjiwa. Namun
hanya Tumenggung Baskara mengutus ibu mertuanya, Nyai Kani istri almarhum
Yudanegara dan anaknya yang belum akil balig, yaitu Raden Suderma. Sedangkan
dua penguasa Madura Timur lainnya tidak hadir (T. Wirasari dan T. Gatutkaca). Oleh
karenanya, van Vliet hanya dapat beramah tamah dengan Tumenggung Panji
Pulangjiwa dan Raden Suderma. Setelah acara di Surabaya selesai, van Vliet
beserta rombongan Tumenggung Panji Pulangjiwa dan Raden Suderma menuju ke
Jepara menanti kedatangan Kapten Tack.
Untuk kemudian bersama-sama mengiringi Kapten Tack berkunjung ke
Kartasura menghadap Susuhunan Amangkurat II, sehubungan masalah pembagian
wilayah kekuasaan mereka di Madura Timur (Graff, 1987).
Penelitian bersama Komunitas Pelestari Sejarah Budaya Sumenep "Songennep Tempo Doeloe" di bukit Asta Tinggi (Foto : Robby, 16/06/2013) |
B.
PANGERAN
RAMA
Babad
Songennep (Wedisastra, 1921) mengungkapkan bahwa Pangeran Rama
adalah putra dari R.A. Otok dengan Pangeran Gatutkaca dari Pamekasan. Mengenai
pengungkapan silsilah keturunan Yudanegara pada Babad Songennep perlu diteliti lebih lanjut, karena banyak ketidak
sesuaian dengan data primer yang sejaman dengan peristiwa. Dalam babad
disebutkan bahwa pernikahan antara R.A. Batur dengan Pangeran Baskara tidak
dikaruniai anak, namun dalam laporan van Vliet yang menjamu dan bertemu
langsung dengan tokoh-tokoh tersebut menerangkan bahwa Pangeran Baskara memiliki
putra laki-laki bernama Raden Suderma (Graff, 1987). Raden Suderma inilah yang
sebenarnya didukung van Vliet untuk menggantikan Yudanegara.
Dalam faktanya Pangeran Rama menjadi penguasa
Sumenep dan berhasil mempersatukan wilayah Madura Timur (Sumenep-Pamekasan) di
bawah naungan pemerintahannya. Apakah Raden Suderma yang disebutkan van Vliet
adalah sama dengan Pangeran Rama ini? Jika benar berarti ia merupakkan putra
Pangeran Baskara dengan R.A. Batur.
Pangeran Rama mempersatukan pemerintaan
Madura Timur, kemudian ia bergelar Cakranegara II. Pada tanggal 09 April 1705,
pemerintahan seluruh Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan) resmi diserahkan
kepada Cakranegara II. Ia dikukuhkan berdasarkan perintah Gubernur Jenderal dan
Dewan Pertimbangan Agung (Raad van indie)
Komisaris Kompeni (Resink, 1987).
Sehubungan dengan salah satu poin perjanjian
tentang jatuhnya Sumenep dan Pamekasan ke tangan VOC, pada tanggal 05 Oktober
1705 terdapat perjanjian antara Susuhunan (Amangkurat II) dan Kompeni Belanda.
Adapun isi dari pernyataan perjanjian tersebut ialah :
“Paduka yang Mahamulia Susuhunan dengan ini
menyerahkan secara syah kepada Kompeni untuk melindungi daerah-daerah Sumenep
dan Pamekasan..... secara yang sama seperti dilakukan oleh Bupati yang
terdahulu waktu menyerahkan daerahnya kepada Kompeni.....” (Resink, 1987).
Pernyataan tersebut memberikan informasi
bahwa Sumenep dan Pamekasan secara resmi jatuh ke bawah perlindungan dan milik
Kompeni sejak pemerintahan Pangeran Rama. Pangeran Rama atau Cakranegara II
berhasil melepaskan diri dari hegemoni Kesultanan Mataram di Kartasura.
Novi BMW
PB Bojonegoro, eks PB Sumenep
(PBS, Kamis 31/07/2014)
(PBS, Kamis 31/07/2014)
Sumber Rujukan :